Diduga Dibully di Rumah Sakit, Ribuan Calon Dokter Spesialis Depresi hingga Ingin Bunuh Diri

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ribuan dokter diperkirakan akan bunuh diri setelah dianiaya.

Parahnya, pelecehan ini dihadapi calon dokter saat mengikuti program spesialisasi langsung rumah sakit (PPDS).

Demikian informasi yang dirilis Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI).

Kebetulan, dari survei pemeriksaan kesehatan peserta pada Maret 2024, hasilnya menunjukkan mayoritas calon dokter memiliki gangguan kesehatan mental.

Tercatat 3,3 persen peserta PPDS yang dites ternyata pernah melakukan percobaan bunuh diri atau melukai diri sendiri.

Data ini diperoleh melalui penilaian kesehatan mental menggunakan Kuesioner Kesehatan Pasien-9 atau PHQ-9. Pertanyaan tersebut dijawab oleh 12.121 mahasiswa PPDS di 28 klinik pada tanggal 21, 22, dan 24 Maret 2024.

Bila dirinci, sebanyak 2.716 (22,4 persen) PPDS mengalami gejala depresi, yakni 1.977 (16,3 persen) depresi ringan, 486 (4 persen) depresi, 178 (1,5 persen) depresi berat, dan 75 (0,6 persen) orang. Jumlah tersebut 2.716 atau 22,4 persen. persennya berasal dari calon dokter yang sedang mempelajari berbagai program spesialisasi.

Dalam dua minggu terakhir, 3,3 persen PPDS menganggap lebih baik mati atau ingin melukai diri sendiri dengan cara apa pun dan masih banyak lagi:

1. 322 orang (2,7 persen) telah mendengarnya selama beberapa hari.

2. mendengarnya lebih dari separuh waktu, 52 (0,4 persen)

3. 25 orang (0,2 persen) mendengarnya hampir setiap hari.

Gagasan bahwa lebih baik mati atau ingin menyakiti diri sendiri dengan cara apa pun sangat terasa pada PPDS dengan gejala depresi berat.

Selain itu, program statistik yang melaporkan bahwa calon dokter dengan gejala depresi lebih banyak teridentifikasi pada lima program berikut: 1. Pengobatan oral (53,1 persen)2. Penyakit anak (41,3 persen) 3. Operasi plastik (39,8 persen)4. Anestesiologi (31,6 persen)5. Bedah mulut (28,8 persen) Menurut Direktur Kantor Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi, survei dilakukan dengan menggunakan kuesioner untuk mengisi pertanyaan. Bullying berdampak pada kesehatan mental ibu hamil yang mencari gambar kesehatan mental (freepik)

Kemenkes ingin mengetahui apakah PPDS disebabkan oleh perundungan atau faktor lainnya.

“Karena kita masih melihat laporan pelanggaran di rumah sakit swasta,” ujarnya.

Nadia mengatakan, perundungan bisa menyebabkan depresi atau penyakit mental.

“Kebingungan mental bisa membuat seseorang menindas orang lain,” tambahnya.

Selain itu, kata Nadia, survei dilakukan untuk menilai status kesehatan PPDS. Oleh karena itu, penelitian singkat ini menegaskan manfaat klinis PPDS dalam pengaturan klinis.

Namun pihaknya masih perlu mengetahui penyebabnya dengan menggunakan empat faktor.

Mengingat ada empat faktor yaitu pendidikan, dukungan kegiatan, finansial dan atau akibat penyalahgunaan maka akan ditindaklanjuti oleh tim teknis, tutupnya. Pakar Tunjukkan Cara Ini Prof Tjandra Yoga Aditama (HO/TRIBUNNEWS)

Direktur Universitas YARSI sekaligus Ketua Dewan Kehormatan Persatuan Pulmonologi Indonesia (PDPI) Prof. Tjandra Yoga Aditama juga menyarankan lima inisiatif yang sebaiknya diikuti Kementerian Kesehatan.

Pertama, penilaian kualitatif dilakukan terhadap hasil penilaian berdasarkan 9 soal pilihan ganda melalui kuesioner, tanpa wawancara. “Penelitian sebenarnya berdasarkan penilaian dokter dan psikiater, bukan hanya 9 pertanyaan,” kata Prof Tjandra.

Kemudian, analisis serupa dilakukan terhadap mereka yang kuliah di universitas profesional lainnya. Agar Anda tahu bagaimana depresi mempengaruhi berbagai peserta dan pendidikan di Indonesia.

Sebaiknya, lakukan survei publik untuk mengetahui tingkat stres di komunitas Anda berdasarkan 9 pertanyaan berikut. Ketiga, yang dilakukan adalah analisis deskriptif.

“Dan perlu dilakukan analisa yang nyata untuk lebih memahami asal usul, penyebab, akibat dan lain sebagainya,” kata Prof Tjandra lagi.

Berdasarkan hasil analisis kualitatif, penyebab dan program dapat diidentifikasi dengan jelas. Keempat, tergantung diagnosisnya, ada PPDS yang menderita depresi. Terutama sedang dan berat.

Sehingga mereka perlu dibantu secara psikologis dan jika memungkinkan dengan pengobatan.

Kelima, pemerintah harus membantu mencarikan alat dan bahan untuk bekerja “agar pendidikan kedokteran baik, karena negara membutuhkan dokter yang memiliki keterampilan medis,” tutupnya. Apakah Penderita Depresi Bisa Sakit Sampai Meninggal?

Bagaimana dampak intimidasi terhadap kesehatan? Tampaknya tidak hanya kesehatan mental, kesehatan fisik juga bisa terpengaruh.

Menurut laporan dari keluarga Verywell melalui situs bencana, anak-anak yang mengalami pelecehan seringkali menderita depresi dan kecemasan sosial. Oleh karena itu, mereka merasa rendah diri karena hal-hal buruk yang menimpanya. Gambar Penindasan Langsung (freepik)

Korban juga mengalami berbagai emosi, seperti kemarahan, kesusahan, depresi, kesepian, dan isolasi. Akhirnya, depresi tidak bisa dihindari.

Namun depresi tidak disebabkan oleh satu alasan saja. Menurut penelitian, struktur otak, hormon, genetika, pengalaman hidup, dan kesehatan fisik semuanya berperan.

Tanpa dukungan, anak dapat mengalami masalah yang disebut ketidakberdayaan belajar.

Hal ini terjadi ketika orang yang menjadi korban perundungan yakin bahwa mereka tidak dapat melakukan apa pun untuk mengubahnya.

Korban kemudian berhenti berusaha melawan dan jalan menuju depresi semakin dalam.

Akhirnya, anak-anak menjadi putus asa dan percaya bahwa mereka tidak punya jalan keluar.

Stres kronis adalah penyebab penyakit ini. Misalnya, anak sering sakit karena stres terus-menerus.

Menurut Healthline, mereka yang dianiaya juga dapat terserang penyakit serius, defisit perhatian, dan masalah sosial.

Menurut laporan dari Verywell Mind, penderita depresi kesulitan membuat pilihan gaya hidup sehat. Mereka mungkin tidak bisa tidur atau makan dengan baik, dan menolak berolahraga. Selain itu, faktor-faktor tersebut juga membuat seseorang berisiko mengalami kematian mendadak.

(Tribunnews.com/Anita K Wardhani/Aisyah Nursyamsi/Willy Widianto)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *