Laporan reporter Tribunnews.com, Fersianus Waku
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu mengatakan pihaknya dan seluruh daerah menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran.
Ninik mengkritisi rancangan RUU Penyiaran karena tidak memasukkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dalam ketentuannya.
“(Hal ini) menunjukkan tidak mencakup kepentingan menghasilkan jurnalisme yang baik sebagai produk penyiaran, termasuk campur tangan yang akan dilakukan oleh platform,” kata Ninik di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Selasa (14/5/2021). 2024) ).
Selain itu, kata dia, RUU penyiaran berarti media tidak bebas, independen, dan tidak menghasilkan jurnalisme yang baik.
“Dari sisi pemberitaan, Dewan Pers menilai jika perubahan ini terus berlanjut maka undang-undang lain akan mengakibatkan jurnalis menjadi pers yang buruk, pers yang tidak resmi dan independen,” kata Ninik.
Menurut Ninik, RUU Penyiaran menurutnya melanggar putusan MA Nomor 91/PUU-XVIII/2020, artinya penyusunan undang-undang tersebut harus mempunyai makna yang utuh.
Maksudnya apa? Harus ada keterlibatan masyarakat, hak masyarakat untuk mendengar pendapatnya, hak masyarakat untuk dipertimbangkan pendapatnya, ”ujarnya.
Ia juga mengatakan, asosiasi media dan masyarakat di daerah tidak ikut serta dalam penyusunan RUU Penyiaran.
Saat ini, secara serius, Ninik menegaskan RUU Penyiaran bertentangan langsung dengan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Sebab, RUU Penyiaran memberikan pembatasan terhadap penyiaran berita yang bersifat investigasi saja.
“Karena dengan UU 40 kita tidak lagi mengenal sensor, melarang dan melarang penerbitan karya baik jurnalis,” kata Ninik.
Kemudian, terkait penyelesaian konflik media dalam RUU Penyiaran akan dilakukan oleh organisasi yang tidak mempunyai kewenangan menentukan etika jurnalistik.
“Keputusan pemberhentian kerja jurnalis ada di dewan pers dan hal itu tertuang dalam undang-undang,” kata Ninik.
Ninik meminta agar penyusunan undang-undang resminya dikoordinasikan agar tidak tumpang tindih.
Selain itu, kata dia, aturan penyelesaian sengketa media juga diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2024.
“Pemerintah hanya setuju, mengapa dalam sistem ini persoalan penyelesaian sengketa terkait jurnalisme diberikan kepada lembaga penyiaran?” tambah Ninick.