TRIBUNNEWS.COM – Pemerintah Tajikistan resmi melarang penggunaan pakaian keagamaan, termasuk penggunaan jilbab.
Di sisi lain, warga Tajik dianjurkan untuk mengenakan kostum nasional Tajik.
Setelah bertahun-tahun melakukan pembatasan informal terhadap pakaian keagamaan, pemerintah Tajikistan menyetujui rancangan undang-undang yang melarang penggunaan jilbab.
RUU tersebut disahkan oleh Majelis Rendah Parlemen (Majlisi Namoyandagon) pada 8 Mei 2024, dan disetujui oleh Majelis Tinggi (Majlisi Milli) pada 19 Juni 2024, setelah perayaan Idul Fitri.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Presiden Emomali Rahmon yang mengatakan jilbab adalah pakaian asing di negara mayoritas Muslim dan pelanggarnya akan dihukum. Konten hukum terbaru di Tajikistan
Undang-undang tersebut mengubah Undang-Undang Pengelolaan Perayaan dan Upacara yang ada untuk melarang impor, penjualan, promosi, dan pemakaian pakaian yang tidak sesuai dengan budaya nasional.
Inti dari perubahan ini adalah larangan hijab (jilbab yang dikenakan oleh wanita Muslim) dan pakaian lain yang berhubungan dengan Islam.
Pelanggar individu akan didenda antara 7.920 somoni ($747) dan 39.500 somoni ($3.724), menurut Radio Ozodi cabang Tajik.
Rencana tersebut juga melarang perayaan Idul Fitri, tradisi memberikan sumbangan kepada anak pada Idul Fitri dan Nowruz, serta perayaan Idul Fitri dan Idul Adha. Mengapa hijab asing?
Larangan jilbab adalah langkah terbaru Presiden Emomali Rahmon, yang memimpin pemerintahan sekuler.
Ini adalah undang-undang terbaru yang bertujuan untuk mempromosikan apa yang ia anggap sebagai budaya “Tajik” dan mengurangi visibilitas agama tersebut di masyarakat.
Hal ini berkaitan erat dengan politik dan tekanannya terhadap kekuasaan. Gambar wanita berjilbab (gambar gratis)
Rahmon telah menjadi presiden negara Asia Tengah tersebut sejak tahun 1994, menjadikan masa pemerintahannya selama 30 tahun sebagai salah satu masa pemerintahan terlama di kawasan ini.
Di awal karirnya, ia berkampanye melawan partai politik paling saleh, lapor The Indian Express.
Rahmon adalah wakil rakyat Republik Sosialis Soviet Tajikistan, yang saat itu masih menjadi anggota Uni Soviet.
Setelah runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1991, Tajikistan menyaksikan perang saudara antara sesama Soviet (di mana Rahman menjadi bagiannya) dan suku-suku etno-religius yang membentuk aliansi oposisi Tajik.
Rahmon memenangkan pemilihan presiden tahun 1994 setelah protes meluas mengenai kondisi di negara tersebut.
Ia merupakan pemimpin Partai Demokrasi Rakyat Tajik yang berkuasa sejak tahun 1994.
Selama beberapa dekade, Presiden Emomali Rahmon telah mengubah konstitusi negaranya untuk memperkuat kekuasaannya.
Perubahan paling besar terjadi pada tahun 2016, ketika Tajikistan mengamandemen konstitusinya untuk menghapus batasan masa jabatan presiden.
Presiden Emomali Rahmon juga melarang partai keagamaan yang mungkin menentang partainya.
(Tribunnews.com/Unita Rahmayanti)