Dalam dunia yang serba digital, Desa Pegergumbuk di Sidoarjo, Jawa Timur menawarkan suasana berbeda. Berbagai mainan tradisional penuh kearifan lokal banyak ditemukan dimana-mana. Namanya gabus, tulang, kongklak, sekrup, bakiak, gundu, ketapel, kincir angin, dan sebagainya.
Gelak tawa anak-anak pun ikut memeriahkan ruangan. Bukan karena mabar, permainan online yang populer, menjadi tren di kalangan anak-anak masa kini, melainkan mereka sibuk memainkan berbagai permainan tradisional.
Inilah Kampung Lali Gadget (KLG). Dalam bahasa Indonesia, lali artinya melupakan. Desa ini hadir untuk memberikan kesempatan kepada anak-anak sejenak melupakan alat elektronik dan melatihnya melalui permainan tradisional. Perekonomian lokal berkembang karena mainan tradisional
Selain membuat anak-anak sejenak lupa akan gadgetnya, apakah juga akan membantu perekonomian warga sekitar? Mereka juga memproduksi dan menjual mainan tradisional. Seperti Siti Juleha, ia merupakan salah satu dari puluhan ibu-ibu yang merasakan manfaat kehadiran Kampung Lali Gadget.
Juleha terlibat dalam pengembangan dan pengemasan mainan tradisional, yang kemudian dijual kepada wisatawan. Kalau di sana ada acara, saya jual. Kalau tidak ada acara, biasanya saya pesan mainan seperti kincir angin. Kalau ada pesanan gasing dalam jumlah besar, saya juga yang membuat dan mengemasnya, kata Juleha.
“Dengan cara ini saya bisa memesan sambil menjaga anak-anak saya dan anak saya ikut dengan saya. Dia bermain untuk KLG dan ketika dia datang ke sini untuk bermain dia lebih aktif dan benar-benar lupa ponselnya,” kata Juleha, disuarakan dalam bahasa Jerman. .
Juleha telah menjadi anggota Kelompok UMKM Gadget Kampung Lali sejak berdirinya KLG yang kini memasuki tahun keenam. “Ini sangat membantu, saya seorang ibu rumah tangga dan suami saya bekerja dan penghasilannya hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Jadi, sangat menyenangkan memiliki penghasilan tambahan.”
Datang dan berlangganan buletin mingguan Wednesday Bite secara gratis. Di tengah minggu, perbarui pengetahuan Anda dan topik pembicaraan akan lebih menarik!
Selain dibuat oleh ibu-ibu sekitar KLG, berbagai mainan tradisional didatangkan dari berbagai kota seperti Magelang, Kediri, dan Malang. Ada pula yang dibeli dalam bentuk setengah jadi kemudian dirakit dan dikemas.
Kini mereka tidak hanya memproduksi mainan yang memenuhi persyaratan KLG, tetapi juga mulai menerima pesanan dari luar kota. Pesanan dimulai dari yang kecil dan secara bertahap menjadi semakin besar. Dimulai oleh generasi muda
Sejak Agustus 2018, Ahmad Irfandi, pemuda asal Desa Pegergumbuk, memulai proyek Gadget Kampung Lali (KLG). Pria berusia 31 tahun ini tidak sendirian, ia mengajak generasi muda disekitarnya untuk turut peduli dengan isu kecanduan gadget elektronik pada anak.
“Saat saya jalan-jalan di desa, saya melihat selain orang dewasa, di kafe tersebut juga banyak terdapat anak-anak, bahkan anak-anak dan siswa SD. Mereka pergi ke sana untuk menikmati wifi dan bermain game online tanpa pengawasan orang tua,” ujarnya. .Irfan Di. Koresponden DW di Indonesia.
“Juga ketika saya melihat berita ini di TV, saya mendengar banyak anak yang kecanduan produk elektronik dan dirawat di rumah sakit jiwa. Sedih sekali, tapi pada akhirnya membuat saya terharu,” tambahnya.
Seiring berkembangnya desa Lali Gajet, Irfandi mulai bekerja dengan pemuda sekitar Sidorzo dan menjadi perencana, fasilitator pendidikan, dan mitra pengunjung. Program ini fokus pada pelestarian budaya untuk mempromosikan permainan tradisional yang dinilai efektif mengurangi ketergantungan anak terhadap produk elektronik.
Di sinilah anak-anak harus melupakan ponselnya. Berbagai kegiatan outdoor dan permainan tradisional diciptakan tidak hanya untuk menghilangkan kecanduan terhadap produk elektronik, tetapi juga untuk mengajarkan mereka nilai-nilai kehidupan. Pentingnya keterlibatan orang tua
Semangat kebersamaan sangat dijunjung tinggi di Gadget Larry’s Village. Tanpa gadget, semua orang di sini diajak untuk saling mengikuti dan mendukung aktivitas.
Satu hal yang ditonjolkan dalam acara Larry’s Gadget Village adalah kebersamaan dan kebersamaan. Tak hanya anak, Irfandi dan tim juga berupaya memberdayakan orang tua melalui pendidikan melalui kegiatan parenting.
Seperti Rahma, orang tua yang membawa anaknya ke Lali Gadget Village untuk membuang ponselnya, “Saya sangat khawatir dia fokus pada satu hal, bersosialisasi dengan teman dan berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya.
Di sini solidaritas anak dan orang tua dipupuk dengan harapan menjadi cara hidup berkeluarga yang baru, mempererat keakraban dan rasa saling percaya. Menumbuhkan keharmonisan antara orang tua dan anak juga diyakini akan membantu mengurangi kecanduan gadget elektronik di rumah. Beragam manfaat membatasi gadget
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), sebanyak 33,44% anak kecil menggunakan ponsel, lebih dari separuhnya berusia 5-6 tahun. Hal ini berdampak pada tumbuh kembang dan kesehatan mental anak, khususnya usia 0-5 tahun dianggap sebagai masa emas atau masa prima pertumbuhan dan perkembangan anak yang pesat.
Hal ini “pasti dapat berdampak negatif pada kemampuan bahasa dan komunikasi anak Anda, serta cara mereka mengelola emosi.”
Salah satu cara KLG untuk mencegah kecanduan ponsel pada anak adalah dengan mengedukasi mereka melalui berbagai permainan tradisional untuk memahami budaya dan kearifan lokal Indonesia.
Di sini anak-anak dapat menikmati pertunjukan wayang dan berinteraksi langsung, memainkan alat musik tradisional, bermain lumpur, serta memainkan berbagai permainan tradisional seperti kongklak, bakiak, poyas, dll.
“Permainan tradisional merupakan pintu masuk untuk memahami kebudayaan secara utuh. Ada 10 benda maju budaya yang akan diperkenalkan, namun semuanya sulit untuk anak-anak. Kita mulai dari yang mudah dan paling disukai anak-anak, yaitu bermain,” kata Irfandi. .
Irfandi menjelaskan: “Permainan tradisional juga memberikan kontribusi terhadap tumbuh kembang anak baik secara mental, fisik, dan emosional.”
Irfandi dan kawan-kawan, selain bermanfaat bagi tumbuh kembang anak, meyakini permainan tradisional juga dapat membentuk karakter dan kepribadian anak, seperti pentingnya kerjasama dan saling menghormati. (Prancis/Amerika)