Laporan jurnalis Tribunnews.com Fersianus Waku
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu meminta penyelesaian sengketa jurnalistik dilimpahkan ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) berdasarkan rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran.
Amanat penyelesaian karya jurnalistik ada di Dewan Pers dan itu tertuang dalam undang-undang, kata Ninik di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Selasa (14/5/2024).
Ninik meminta perkembangan peraturan hukum harus diselaraskan agar tidak saling tumpang tindih.
Selain itu, kata dia, aturan yang bertujuan untuk menyelesaikan sengketa jurnalistik juga diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2024.
“Pemerintah hanya mengakui mengapa dalam proyek ini penyelesaian konflik terkait jurnalisme dipercayakan kepada lembaga penyiaran?” ujar Ninik.
Ninik juga mengkritisi rancangan RUU Penyiaran karena tidak memasukkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dalam pertimbangannya.
“(Hal ini) mencerminkan kegagalan mengintegrasikan kepentingan produksi jurnalisme berkualitas sebagai produk penyiaran, termasuk distorsi yang akan dilakukan melalui saluran-saluran platform,” tegasnya.
Selain itu, kata dia, dengan adanya RUU Penyiaran, berarti pers tidak akan bebas, mandiri, dan menghasilkan karya jurnalistik yang berkualitas.
Sebab dalam konteks informasi, Dewan Pers menilai jika sebagian aturannya dipertahankan maka perubahan ini akan menjadikan pers sebagai produk pers yang buruk, pers yang tidak profesional dan tidak independen, kata Ninik.
Menurut Ninik, terkait dengan proses RUU Penyiaran, hal tersebut melanggar putusan Mahkamah Konstitusi nomor 91/PUU-XVIII/2020, artinya pembuatan suatu peraturan harus mengandung makna partisipasi seutuhnya.
Maksudnya apa? Harus ada partisipasi masyarakat, hak masyarakat untuk didengar pendapatnya, hak masyarakat untuk diperhatikan pendapatnya, katanya.
Ia juga menyebut Dewan Pers dan pemilih tidak dilibatkan dalam proses penyusunan rancangan siaran tersebut.