Deklarasi Paket Pimpinan LaNyalla Cs Dikritik Karena Berpotensi Melanggar Hukum dan Etika

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Banyak Anggota DPD RI terpilih 2024-2029 yang mendeklarasikan paket kepemimpinan pada pemilihan pimpinan DPD RI pada 1 Oktober 2024.

Deklarasi tersebut mengukuhkan empat orang sebagai pimpinan DPD RI periode 2024-2029, yakni La Nyalla Mattalitti sebagai ketua, disusul Nono Sampono, Tamsil Linrung, dan Elviana sebagai wakil ketua.

Kabarnya, sejumlah selebriti Tanah Air akan menghadiri acara deklarasi tersebut, antara lain Wakil Presiden ke-6 TNI (kanan) Try Sutrisno, mantan Ketua DPD Oesman Sapta Odang, mantan anggota DPD yang kini menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden. Djan Faridz dan mantan hakim Hatta Ali di MA.

Sementara itu, anggota DPD Daerah Pemilihan Jawa Barat yang juga komedian Alfiansyah Komeng terpilih menjadi tuan rumah dalam acara tersebut.

Menanggapi pernyataan paket pimpinan DPD RI, Senator Papua Barat Dr. Filep Wamafma mengutarakan pandangannya.

“Saya pribadi mengucapkan selamat dan mendoakan keberhasilan deklarasi ini. Namun ada beberapa hal yang perlu saya sampaikan sebagai koreksi, refleksi dan evaluasi atas nama DPD RI. Pertama, adakah dasar hukum sistem paket kepemimpinan untuk memilih pimpinan DPD RI tahun 2024-2029? “Setahu saya Peraturan Dewan Perwakilan Daerah No. 1 Tahun 2022 tentang Peraturan DPD RI tidak pernah ada konsep “paket kepemimpinan”, kata Filep dalam keterangannya tertanggal Senin (24/06/2022).

Filep menjelaskan, konsep paket pimpinan DPD RI memang diatur dalam rancangan perubahan Undang-undang Acara Perdata yang dikembangkan Pansus Tata Usaha Negara dan Teamja Tatib.

Namun proyek ini tidak bisa menjadi landasan hukum untuk melakukan kegiatan apapun, termasuk pernyataan pengurus DPD RI dalam sistem persil, lanjutnya.

Lebih lanjut, Filep mencontohkan keputusan DPD RI khususnya mengenai tata cara pemilihan pimpinan DPD RI. Dia menyebutkan seni itu. 46 angka 1 kode etik ditegaskan bahwa susunan pengurus DPD terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 3 (tiga) orang wakil ketua, antara lain wakil ketua I, wakil ketua II, dan wakil ketua. ketua III yang mencerminkan keseimbangan daerah dan berkepribadian universitas.

“Kelompok Eksekutif bukanlah sebuah paket karena keterwakilan regional harus dipertimbangkan dalam Art. 48, adalah calon pelamar dari sub-wilayah yang ditentukan dalam pasal. 50 orang yang menerima dukungan minimal 7 anggota yang berasal dari 5 distrik berbeda di wilayah tersebut, sebagaimana didefinisikan dalam Art. 51. Meskipun terdapat perubahan keputusan DPD RI mengenai perubahan tata tertib, namun rapat umum tetap menyetujui hasil kerja tim khusus panitia dan Timja Tatib yang kemudian disahkan dalam tata tertib DPD RI. Pada tahap ini otomatis semua member wajib mengikutinya termasuk sistem bundle. “Dengan demikian, pergerakan pernyataan paket pimpinan dapat merupakan pelanggaran kode etik DPD RI yang patut diapresiasi, dihormati dan dilaksanakan oleh seluruh anggota,” tegas Filep.

Lebih lanjut, Ketua Komite Pertama DPD RI menegaskan status hukum anggota DPD RI sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi.

Disebutkannya, putusan Mahkamah Konstitusi no. 12/PUU-XXII/2024 menegaskan bahwa status anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD terpilih belum memiliki hak dan kewajiban konstitusional yang berpotensi disalahgunakan oleh calon anggota DPR, DPD. anggota dan anggota DPRD yang berkepentingan.

“Nah, kita semua harus ingat bahwa ada status hukum formal mengenai status hukum seluruh anggota DPD, yaitu berdasarkan Keputusan KPU tentang Calon Terpilih, Keputusan Presiden Republik Indonesia tentang Pelantikan. “Hal inilah yang melegitimasi status hukum serta hak dan kewajiban seluruh anggota DPD RI,” tegas Filep lagi.

Dalam kesempatan yang sama, Senator Filep juga menyebutkan adanya bukti penyimpangan etika terkait pengumuman paket kepemimpinan yang belum ada temuannya.

“Dalam teori etika Kantian yang dipelopori oleh Immanuel Kant, penekanan pada sisi moral ditempatkan pada etika, yaitu bukan tentang apa yang kita lakukan tetapi apa yang harus kita lakukan (bukan apa yang kita lakukan tetapi apa yang harus kita lakukan). Harus ada keterkaitan erat antara ketaatan (kewajiban) dan keinginan mulia (niat baik). Dalam hal pernyataan tersebut tentu timbul pertanyaan apakah diikuti dan benarkah tindak lanjut tersebut dibarengi dengan niat baik atau keinginan yang mulia? Jangan hanya dibimbing oleh ambisi Anda. “Jadi yang penting dalam etika Kantian adalah hasil dari suatu situasi bukanlah tujuan utama, tapi prinsip dibalik tindakan adalah yang terpenting,” ujarnya.

“Harus kita pahami betul bahwa sampai saat ini KPU belum menetapkan calon-calon DPD terpilih karena saat ini KPU masih mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi tentang masalah perundang-undangan PHPU pada sekitar 44 perkara yang dimasukkan sebagian atau sebagian. Oleh karena itu, saya meminta Dewan Kehormatan untuk memantau dan menyelidiki hal ini, karena mungkin ada indikasi pelanggaran prinsip etik, apalagi jika anggota DPD RI mengundang calon anggota DPD RI terpilih untuk ikut serta dalam pernyataan tersebut. “Kami berharap calon pimpinan DPD RI harus mentaati hukum dan etika serta menjadi teladan bagi calon anggota DPD RI terpilih, dan bukan sebaliknya,” pungkas Filep.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *