Dekan FK Unair dipecat dan alasan tersembunyi di baliknya – Seberapa mendesak Indonesia membutuhkan dokter asing?

Kontroversi pemecatan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (FMC) Profesor Budi Santoso karena diduga berbeda pendapat dengan dokter asing membuka wacana lebih dalam betapa Indonesia sangat membutuhkan keberadaan mereka.

Wakil Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Slamet Budiarto menilai kehadiran dokter asing sebaiknya dijadikan “pilihan terakhir” setelah pemerintah melakukan berbagai upaya untuk menyederhanakan pekerjaan dokter lokal.

Pendiri dan CEO Think Tank Strategic Development Initiatives of Central Indonesia (CISDI), Dia Saminarsih, juga menilai masih ada ruang bagi pemerintah untuk mengisi kekurangan dokter spesialis dengan “memperbaiki distribusinya” yang lebih terkonsentrasi di wilayah tersebut. kota-kota besar.

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin berulang kali mengatakan, tujuan utama pemerintah menarik dokter asing adalah untuk menyelamatkan nyawa ribuan pasien, termasuk bayi dengan kelainan jantung bawaan.

Oleh karena itu, saat ini, kata Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes Nadia Tarmizi, pihaknya tengah menyusun rancangan resolusi pemerintah (GD) berbasis UU Kesehatan, termasuk soal dokter asing. .

Perlu dicatat bahwa PP tersebut dapat diadopsi pada bulan Agustus. Mengapa dekan FC Unair dipecat?

Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (Unair) Profesor Budi Santoso mengatakan pemecatannya diduga karena tidak setuju dengan program Kementerian Kesehatan yang menarik dokter asing ke Indonesia.

Sebab, dalam keterangan pribadinya kepada wartawan, Kamis (27/6), ia menyebut 92 fakultas kedokteran di Indonesia mampu melahirkan dokter berkualitas. Bahkan, kata dia, kualitasnya setara dengan dokter asing.

Akibat pernyataan tersebut, Budi diminta hadir di hadapan Rektor Unair, Senat Akademik, dan Sekretaris Universitas pada Selasa (02/07).

Namun karena berhalangan hadir karena berada di Jakarta, keesokan harinya ia mendapat informasi bahwa ia dicopot dari jabatannya sebagai dekan Unair FC.

“Iya begitulah dia [dipecat dari jabatan dekan FC “Unair”. Saya ditelepon hari Senin, mereka menilai saya sudah melampaui kewenangan. Saya sampaikan tidak setuju dengan dokter asing. Saya diminta mundur. atau dipertimbangkan, ” kata Profesor Budi seperti dikutip detik.com.

Meski demikian, Ketua Pusat Komunikasi dan Informasi Publik Unair (PKIP) Dr Marta Kurnia Kusumawardani membantah kabar pemecatan dekan Unair FC karena pernyataannya soal penolakan dokter asing.

Martha menuturkan, alasan pemberhentian tersebut adalah untuk memastikan pengelolaan yang baik guna memperkuat institusi, khususnya di Fakultas Kedokteran Unair.

Penghapusan ini belakangan menuai kontroversi.

Sejumlah dosen di Fakultas Kedokteran Unair menyerukan agar rekan-rekan dosen dan pegawainya melakukan aksi mogok kerja menyikapi pemecatan Budi.

Puluhan karangan bunga bertuliskan “Selamatkan Profesor BUS” pun memenuhi halaman FC Unair.

Sementara itu, Pj Kepala Kantor Humas Kemendikbud Ristek Anang Ristanto mengatakan, pihaknya mengingatkan Rektor Unair Prof Nasih untuk selalu mendukung kebebasan departemen akademik Unair. Bagaimana aturan dokter asing di Indonesia?

Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 membuka pintu bagi dokter asing untuk bekerja di Indonesia. Praktik dokter asing diatur secara rinci dalam Pasal 248–257.

Dikatakan bahwa tenaga medis dan tenaga medis asing yang merupakan lulusan asing yang dapat berpraktik di Indonesia hanya berhak melamar “spesialis dan subspesialis tenaga medis” dan tenaga medis dengan tingkat keahlian tertentu setelah menjalani penilaian kompetensi.

Penilaian kompetensi yang dimaksud meliputi: penilaian kelengkapan administrasi dan penilaian kemampuan praktik – yang dilaksanakan oleh menteri dengan melibatkan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan, dewan, dan dewan.

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin beberapa kali menyatakan, pembicaraan mengenai daya tarik dokter asing bertujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan masyarakat.

Ia mengatakan, ada tiga tantangan dalam penyediaan tenaga kesehatan Indonesia: kuantitas, distribusi, dan kualitas.

Kalau pakai link WHO, idealnya rasionya 1:1000 di tiap negara. Artinya, satu dokter melayani 1.000 warga.

Sementara menurut Budi Gunadi, proporsi dokter umum di Indonesia hanya 0,47 per 1.000 penduduk atau di bawah standar.

Jika jumlah penduduk Indonesia 280 juta jiwa, kata Budi Gunadi, maka dibutuhkan 140.000 dokter lagi, dan jika jumlah lulusan fakultas kedokteran per tahun mencapai 12.000 orang, maka dibutuhkan waktu 10 tahun untuk mencapai angka tersebut.

Ia juga mengatakan, sekitar 500 puskesmas di Indonesia belum memiliki dokter.

Selain itu, Indonesia dilaporkan masih kekurangan sekitar 29.000 dokter spesialis yang sebagian besar berdomisili di Pulau Jawa. Belum ada aturan turunan

Pendiri dan CEO Center for Strategic Development Initiatives of Indonesia (CISDI) Dia Saminarsih mengatakan kehadiran dokter asing bukanlah hal yang tabu di negara lain.

Dokter asing atau dokter asal Indonesia dapat mendaftar atau belajar di tempat lain sesuai peraturan di negara tersebut.

Namun permasalahan saat ini, menurut Diah, meski sudah ada undang-undang yang membolehkan dokter asing bekerja, namun pemerintah belum mengeluarkan aturan turunannya.

Aturan turunannya mulai dari kompetensi, tempat praktik, pengawasan, termasuk kerahasiaan data pasien yang dimiliki dokter asing.

“Hal inilah yang menimbulkan banyak kecurigaan, yang akhirnya berkembang menjadi kontroversi. Karena UU Kesehatan membolehkan, tapi peraturan pemerintahnya belum ada,” kata Dia Saminarsih kepada BBC News Indonesia, Minggu (08/07).

“Ini hanya masalah berbicara bahasanya. Kalau tidak harus bisa berbahasa Indonesia, bagaimana cara berkomunikasi dengan dokter, petugas rumah sakit, bahkan pasien?”

“Jika kita gagal, akan terjadi banyak kesalahpahaman [antara dokter dan pasien].”

Karena itu Dia meminta pemerintah membuka diskusi seluas-luasnya dengan berbagai pihak saat menyusun peraturan pemerintah tentang dokter asing.

Sebab, kata dia, nyawa pasien terancam.

“Jangan sampai dokter asing yang dibawa ke Indonesia punya pengalaman menangani kasus pidana,” kata Dia.

“Jadi jangan dibiarkan begitu saja, itu berbahaya..ini menyangkut nyawa manusia lho.”

Namun lebih dari itu, ia mengatakan pemerintah tidak boleh terburu-buru mendatangkan dokter asing ke Indonesia tanpa mempertimbangkan kembali distribusi dokter yang disebutnya “tidak teratur”.

Bicara soal jumlah dokter, diakuinya belum cukup.

Menurut IDI, total dokter di Indonesia berjumlah 226.190 orang. Jika jumlah penduduk Indonesia sekitar 275 juta jiwa dan—menurut WHO, satu dokter melayani 1.000 orang—maka Indonesia membutuhkan setidaknya 275.000 dokter.

Sementara itu, saat ini terdapat 173.247 dokter umum dan 52.8843 dokter spesialis yang bekerja di Tanah Air.

Dari jumlah dokter yang ada, 160.000 diantaranya tinggal di Indonesia Bagian Barat.

Distribusi yang tidak merata ini, menurut Dia, disebabkan karena banyak dokter yang memilih tidak kembali ke daerahnya setelah menyelesaikan pendidikannya, dan sebagian besar memiliki peralatan yang memadai di kota-kota besar.

“Karena pasiennya banyak yang ke kota besar, dan peralatannya ada di kota besar. Inilah yang menyebabkan produksi dan distribusi tidak mencukupi dan tidak merata.”

“Kalau misalnya dokter kembali ke daerahnya, utilitasnya salah karena alatnya tidak ada. Dokter spesialis akhirnya melakukan hal-hal di luar keahliannya. Itulah yang terjadi sekarang.”

Namun, menurutnya, kekurangan tersebut bisa diperbaiki jika penyalurannya diperbaiki. IDI: Dokter asing harusnya jadi pilihan terakhir

Wakil Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Slamet Budiarto mengamini hal tersebut.

Menurut dia, dengan perhitungan versi WHO, Indonesia mengalami kekurangan dokter. Namun berdasarkan perhitungan IDI, sebenarnya jumlah dokternya “terlalu banyak”.

Kini, kata dia, jika pemerintah ingin menjaring lebih banyak dokter, ada beberapa langkah yang harus dilakukan sebelum menjaring dokter asing.

Pertama, mengangkat 60% dokter umum yang baru lulus menjadi PNS dan menugaskannya ke berbagai layanan kesehatan, seperti 500 puskesmas yang menurut Menteri Kesehatan Budi Gunadi tidak memiliki dokter.

“Sekarang hanya 18-20% yang telah ditugaskan [ke negara bagian], dan negara bagian membutuhkannya, tetapi hanya sedikit yang telah ditugaskan.”

“Kalau pemerintah peduli, tunjuk dokter baru yang berkualitas, beri insentif jadi pegawai pemerintah, maka karirnya terjamin, permasalahan selesai.”

“Tapi itu belum dilakukan.”

Kedua, memberikan insentif yang cukup bagi dokter spesialis yang bekerja di daerah terpencil. Kalaupun diperlukan, jumlah dokter yang bekerja di kota-kota besar lima kali lebih banyak.

Ia juga berpendapat bahwa pemerintah perlu meniru sistem bagi dokter di daerah terpencil, seperti yang diterapkan oleh perusahaan lepas pantai atau pertambangan.

“Sistem kerjanya tiga minggu kerja, dua minggu istirahat. Jadi tidak perlu membawa keluarga. Ini adalah seorang dokter bertugas yang melakukan perjalanan ke daerah terpencil bersama seluruh istri dan anak-anaknya. Jadi sulit karena dia memikirkan keluarganya”.

Ketiga, pemerintah dapat memanfaatkan skema jaminan dinas bagi putra-putri daerah agar bisa segera ditempatkan dan siap ditempatkan di daerah masing-masing.

Dan jika mereka ingin belajar menjadi dokter spesialis, negara siap menanggung biayanya.

Namun jika ketiga hal tersebut sudah dilakukan dan masih ada dokter yang tidak berminat, pemerintah masih punya opsi untuk memanggil dokter diaspora Indonesia ke luar negeri.

Jika tidak ada yang mau, maka pilihan terakhir adalah mengundang dokter asing.

“Cuma catatan ya, semua sudah dilakukan, tapi masih belum ada minat, mau bagaimana lagi,” jelasnya. “Hanya saja pemerintah ingin hal itu terjadi secepatnya.”

Yang pasti, kata dia, selama puluhan tahun IDI selalu menyepakati kerja sama seperti “operasi gabungan dengan dokter asing untuk transfer ilmu dan teknologi”.

Seperti CISDI, kini mereka meminta pemerintah merampungkan terlebih dahulu aturan turunan UU Kesehatan yang mengatur dokter asing.

Ia pun berharap Kementerian Kesehatan mengundang IDI untuk membahas aturan tersebut. Sebab hingga saat ini belum ada ajakan berdialog.

“[IDI] tidak pernah diundang untuk membahas perkembangan peraturan pemerintah. Padahal IDI merupakan pemangku kepentingan pelayanan kesehatan terbesar dengan jumlah dokter sebanyak 230.000 orang,” ujarnya. Bagaimana posisi Kemenkes?

Meski mendapat kritik dari berbagai kalangan, Kementerian Kesehatan nampaknya tetap melanjutkan rencana mengizinkan dokter asing masuk ke Indonesia.

Kepala Kantor Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kementerian Kesehatan Kota, Nadia Tarmizi mengatakan, kebijakan tersebut merupakan “upaya untuk mempercepat akses masyarakat terhadap layanan.”

Sebab, jika dihitung rasionya, satu dokter bisa melayani 1.000 orang, dengan wilayah geografis seperti Kalimantan atau Papua, hal tersebut tidak mungkin tercapai dalam waktu dekat.

Selain itu, layanan spesialis seperti penyakit jantung bawaan dan kemoterapi di Sumut harus dikirim ke Jakarta untuk kasus yang kompleks atau berat dan sedang mengantri, kata Nadia kepada BBC News Indonesia.

Nadya juga melaporkan bahwa rancangan resolusi pemerintah hampir siap dan memerlukan diskusi lebih lanjut.

Kementerian Kesehatan berencana merampungkan peraturan pemerintah tentang dokter asing pada awal Agustus agar bisa segera dilaksanakan dan mulai berlaku.

“Ini pembahasan antar lembaga dan kementerian yang masih [berkelanjutan], jadi bukan hanya Kementerian Kesehatan saja.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *