Laporan Fransiska Adhiuda dari Tribunnevs.com
TRIBUNNEVS.COM, JAKARTA – Ketua DPP PDI Peryuangan (PDIP) Dedi Evri Sitorus menilai keputusan perpanjangan kepengurusan PDIP yang digugat PTUN merupakan langkah politik yang keterlaluan.
Faktanya, dia menduga hal itu bukan semata-mata upaya hukum.
Apalagi penggugat tidak mengalami kerugian apapun, baik moril maupun materil.
Gugatan ini lebih seperti upaya ‘menyerang’ Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), kata Dedi, Selasa (10/9/2024).
Dedi pun merasa janggal jika beberapa kuasa hukum penggugat dikabarkan terafiliasi dengan satu pihak tertentu.
Jadi menurut saya cita rasa politiknya sangat kuat, lanjutnya.
Anggota DPR RI ini mengatakan, proses pemekaran kepengurusan DPP PDI Perjuangan sudah dikaji sangat mendalam dari sisi aturan partai dan konstitusi.
Bahkan, perluasan tata kelola juga telah melalui proses kajian dan kajian hukum di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
“Jika logika jaksa tetap dipertahankan, maka total produk dan akibat hukumnya akan sangat besar,” ujarnya.
Sebab pada tahun 2019, PDI Peryuangan melakukan percepatan kongres dan mengubah mekanisme pembinaan pengurus di daerah dan provinsi agar sesuai dengan agenda politik nasional saat itu, jelas Dedi.
Apalagi, dia mengatakan jika menggunakan logika jaksa, maka SKK DPP PDI Peryuangan yang diterbitkan setelah percepatan kongres tidak sah.
Diantaranya, keputusan DPP PDI Peryuangan terhadap pilpres saat itu.
“Kalau begitu pasti terjadi krisis negara. Misalnya Gibran Rakabuming menjadi Wali Kota tunggal PDI Perjuangan dengan menggunakan SK DPP yang dipercepat Kongres. Kalau keputusan DPP saat itu salah secara hukum, maka Gibran adalah produk yang cacat hukum,” kata Dedi.
Artinya, dia harus didiskualifikasi dari pencalonan wakil presiden pada tahun 2024. Sebab untuk menjadi calon wakil presiden harus memenuhi syarat pernah atau sedang menjalankan fungsi kepala daerah. Kalau keputusan PDIP setelah akselerasi kongres. salah, maka Gibran juga salah dengan semua produk hukum Pilkada se-Indonesia 2020,” jelasnya.
Dedi juga mengatakan, kekeliruan logika ini harus dihentikan dan tidak didorong, apalagi jika motivasinya bersifat politis.
“Saya menyarankan agar para otak kotor atau dalang dan penyerang upaya sabotase PDI Peryuangan berpikir panjang dan keras serta tidak mencari masalah,” jelasnya.
Sementara itu, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mengajukan banding ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta untuk mengesahkan kepengurusan DPP PDI Perjuangan masa bakti 2019-2024 yang diperpanjang hingga 2025.
Tercatat dari laman Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PTUN Jakarta, Senin (9/9/2024), laporan tersebut didaftarkan hari ini dengan nomor perkara 311/G/2024/PTUN.JKT.
Penggugat berjumlah lima orang yakni Jupri, Jair, Manto, Suvari dan Sujoko.
Ada empat poin dalam gugatan yang diajukan lima orang terhadap Kementerian Hukum dan Perlindungan HAM.
Pokok gugatannya adalah sebagai berikut:
1. memenuhi sepenuhnya permintaan pemohon;
2. Menyatakan batal demi hukum Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia nomor: M.HH-05.AH, 11.02.2024. tentang pengukuhan susunan, susunan, dan staf Dewan Pimpinan PDIP Pusat. untuk masa dinas 2024-2025;
3. Meminta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia untuk mencabut Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor: M.HH-05.AH.11.02.2024. yang mengesahkan susunan, susunan, dan personel Dewan Pusat PDIP 2024-2025.
4. Terdakwa diwajibkan membayar biaya perkara.
Kelompok pengacara jaksa Victor V. Nadapdap menjelaskan, gugatan tersebut diajukan karena bertentangan dengan Statuta PDI Perjuangan (AD/ART).
Berdasarkan keputusan Kongres PDI Peryuangan tanggal 9 Agustus 2019, Keputusan no. 10/KPTS/Kongres-V/PDI-Peryuangan/VIII/2019 tentang AD/ART PDI Peryuangan, serta pengesahan dan pemberian program DPP PDI Perjuangan Tahun 2019-2024,” kata Victor dalam keterangannya.
Jika Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI mengesahkan Peraturan No. M.HH-05.11.02 Tahun 2024 yang dibacakan Sekjen PDIP Hasto Cristianto pada acara pengambilan sumpah kader PDI Peryuangan pada Jumat, 5 Juli 2024, memungkinkan kepengurusan DPP PDI Peryuangan tetap berjalan hingga tahun 2025. – Lanjut Viktor, sama saja dengan Pasal 17 yang berbicara tentang susunan dan susunan DPP yang mengatur masa jabatan DPP selama lima tahun.
“Berdasarkan Pasal 17 tentang Susunan dan Susunan DPP yang mengatur masa jabatan anggota DPP selama lima tahun, masa jabatan kepemimpinan menurut AD/ART adalah sampai dengan tanggal 9 Agustus 2024,” kata Victor. katanya.
Victor menambahkan, berdasarkan Pasal 70 AD/ART yang dimiliki PDI Perjuangan, kongres partai harus dilaksanakan setiap lima tahun sekali dan berhak mengubah, menyempurnakan, dan membentuk AD/ART partai.
Sesuai aturan tersebut, jelas Victor, perubahan AD/ART yang memuat syarat-syarat pelayanan pengurus harus dilakukan melalui Kongres.
“Hal ini tentunya sesuai dengan Pasal 5 UU No. 2 Tahun 2011 yang mengacu pada UU No. pada tahun 2008. “Forum pengambilan keputusan tertinggi partai politik yaitu Kongres,” ujarnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Puan Mahran dalam pidato penutupnya pada Workshop Nasional PDI Peryuangan ke-5 di Jakarta mengatakan, Ketua Umum PDI Peryuangan Megawati Soekarnoputri telah memperpanjang masa jabatan DPP PDI Peryuangan hingga tahun 2025 melalui Kongres sebagai hak prerogratif Ketua Umum Partai.
Sedangkan AD/ART PDI Perjuangan tidak menyebutkan hak prerogratif Presiden Jenderal untuk mengubah AD/ART, dimana amanah 2019-2024 diatur dalam AD/ART partai selama lima tahun.
Sepengetahuan Victor, hak prerogratif Ketua Umum PDI Peryuangan hanya sebatas menjaga empat pilar kebangsaan dan eksistensi partai jika terjadi sesuatu pada partai dalam keadaan darurat yang terpaksa.