Data BPS dan ITC Tak Sinkron Soal Produk Impor dari China, Begini Tanggapan Kemenperin 

Wartawan Tribunnews.com Endrapta Pramudhiaz melaporkan

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Data impor asal Tiongkok ke Indonesia yang dicatat Badan Pusat Statistik (BPS) berbeda dengan data ekspor Tiongkok ke Indonesia yang dicatat International Trade Center (ITC).

Reni Yanita, Plt Direktur Jenderal Kimia, Farmasi, dan Tekstil (IKFT) Kementerian Perindustrian (Kemenperin), mengatakan kesenjangan data tersebut disebabkan banyaknya pelabuhan atau belum terdaftar.

Karena ada penyelundup yang membawa barang impor ke Indonesia melalui pelabuhan tikus, maka datanya tidak tercatat secara resmi sehingga membuat data tidak konsisten.

“Perdagangannya ada yang legal ya. Kita ini (negara kepulauan). Istimewanya kita ini (negara kepulauan). Banyak pelabuhan tikus dan pelabuhan yang tidak terdaftar di kawasan ini,” kata Reni di Kompleks Parlemen Senayan. , Jakarta (9/7/) kata. 2024).

“Datanya banyak yang tidak cocok ya? Data impor kita dibandingkan dengan data ekspor China dan itu berbeda,” lanjutnya.

Menurutnya, China melaporkan ekspor yang besar karena industrinya memiliki kebijakan pengembalian pajak atau kredit pajak.

Nah, sesampainya di Indonesia banyak sekali barang yang masuk melalui pelabuhan Tikus, sehingga tidak didaftarkan.

“Kalau di China, industri ekspor dapat tax refund, tapi kredit pajaknya 30 persen. Ujung-ujungnya dia menyatakan semuanya,” kata Reni.

“Kami tidak mencatat melalui gerbang mana dia masuk, yang mungkin menjadi penyebab data BPS tidak sinkron dengan data dari China,” lanjutnya.

Karena Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan Kementerian Keuangan bertanggung jawab mengendalikan pelabuhan, bukan Kementerian Perindustrian, Reni menilai merekalah yang paling tahu bagaimana harus bertindak.

Dan penguasaan ini pada akhirnya berkaitan dengan penerimaan negara. Oleh karena itu, menurut Reni, Bea dan Cukai harus lebih memperhatikan hal tersebut.

“Di Kemenperin sudah jelas nilai terukurnya. Tenaga kerja, PPh badan, PPN bila diperlukan, pertumbuhan investasi bahan baku. Semua itu sebenarnya didorong oleh ekspor dan devisa,” kata Reni.

“Tapi yang dapat bea masuk langsung, dia (bea cukai) yang harus mengontrol,” jelasnya.

Sebelumnya, Ketua Umum Persatuan Pengusaha Ritel dan Penyewa Mal Indonesia (Hippindo) Jenderal Budihardjo Iduanja mengungkapkan adanya kesenjangan data yang dimiliki BPS dan International Trade Center (ITC) mengenai ekspor dan impor Indonesia ke China.

Berdasarkan catatan Hippindo, pada tahun 2004 hingga 2023, jumlah produk China yang diekspor ke Indonesia yang tercatat di ITU lebih mahal dibandingkan jumlah impor dari China ke Indonesia yang tercatat di BPS.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *