Tahukah Anda bahwa banyak masyarakat di Indonesia yang belum mandiri terhadap air? Air yang memegang peranan penting bagi setiap manusia di dunia ini dapat dimanfaatkan dengan baik tanpa harus mengeluarkan biaya.
Sayangnya, negara kita termasuk salah satu dari sekian banyak negara yang belum mandiri terhadap air minum. Hal ini antara lain disebabkan oleh pencemaran badan air akibat limbah dan sistem penyaringan yang tidak memadai.
Bahkan di kota-kota besar seperti Yogyakarta, lebih dari 3,5 juta penduduknya rentan terhadap krisis air dan kekeringan, sehingga memperburuk ketersediaan air bersih.
Lantas, sampai kapan kita harus membeli air kemasan, atau bahkan air untuk mandi dan memasak?
Datang dan berlangganan buletin Rabu gratis Byte. Tambah ilmumu di tengah minggu biar topik pembahasannya seru banget! Air hujan adalah solusi krisis air
Apakah itu benar? Akan apa? Ya, dan sudah ada di Sleman Yogyakarta.
Di sana, warga berbondong-bondong mendatangi rumah Pak Wahyuningsih dengan membawa galon air gratis. Ia mendirikan komunitas Banyu Bening yang kerap mengedukasi masyarakat tentang potensi air hujan untuk kebutuhan sehari-hari.
Menara hujan di rumahnya memberi manfaat bagi banyak orang. Ada pula yang rela menempuh jarak hingga 20 kilometer dari Sleman untuk mendapatkan air.
Air minum di rumah Shree berasal dari air hujan yang diproses secara elektro dengan sistem penyaringan yang dikembangkan oleh Shree sendiri. Alat untuk mengolah air hujan yang disebut elektrolisis air ini memecah partikel air dan menghasilkan dua rasa yang berbeda.
Air dengan potensi hidrogen yang tinggi umumnya digunakan untuk minum, sedangkan air dengan kandungan oksigen tinggi atau biasa disebut “air asam” cocok untuk perawatan kulit seperti mengobati gatal-gatal atau jerawat, karena konsentrasi disinfektan yang tinggi. Cuci buah dan sayuran.
Menara berkapasitas 20.000 liter menampung air hujan yang cukup untuk kebutuhan setahun. Air hujan ini disalurkan melalui teknologi filter hujan gamma. Dengan cara ini, air hujan diolah melalui tiga penyaring hingga akhirnya kita meminumnya.
Kedengarannya mudah untuk dioperasikan di masyarakat, bukan? Tentu saja, proses elektrolisis bukanlah satu-satunya langkah untuk menjadikan air hujan aman untuk dikonsumsi. Pilihan lainnya adalah dengan menggunakan sinar UV atau perebusan. Kalau begitu kamu bisa langsung minum! Coba dulu…
Sejak tahun 2019, Sibon Bhang membuka Sekolah Bening untuk mengedukasi masyarakat sekitar tentang air hujan. Di sini, ia juga berbagi ilmu tentang mengumpulkan air hujan sendiri.
Namun hal ini pun bukannya tanpa hambatan. Ide meminum air hujan yang terdengar kurang familiar, menimbulkan skeptisisme saat pertama kali diperkenalkan.
“Wah, orang mau minum air hujan?!” Ia mengatakan, pendapat warga saat itu menyesatkan. Setelah percobaan, tidak ada masalah.
Sejak inisiatif “Rainwater Charity” yang dilancarkan Sri, banyak warga yang dulunya meminta air gratis kini memulai inisiatif tersebut.
Guru Besar Teknik Kimia Universitas Gajah Mada, Agus Prasetyo yang merupakan relawan aktif di Sekolah Banyu Bening berpendapat, jika suatu daerah memiliki pusat pemanenan air hujan, atau bahkan setiap rumah tangga, maka pemanenan air hujan bisa dilakukan. Masalahnya bisa segera teratasi. Kedengarannya sederhana, bukan? Konsumsi galon air mendorong kapitalisme dan krisis lingkungan
Solusi krisis air minum di masyarakat Indonesia saat ini hanya sebatas membeli air galon. Malang bagi August dari UGM.
Penggunaan air dalam galon tidak menyelesaikan krisis air, hanya menjadikan masalah eksploitasi. Oleh karena itu, ini bukanlah solusi jangka panjang dan berkelanjutan.
Perusahaan air dan konsumen terus bergantung pada air kemasan untuk minum. Ketergantungan ini juga menimbulkan permasalahan lingkungan lainnya seperti sampah plastik. Dan efek ini tidak membersihkan air yang terkontaminasi lagi.
Selain itu, rata-rata, satu keluarga beranggotakan tiga orang perlu menambahkan sekitar sepuluh galon air per bulan. Untuk wilayah Jabodetabek, harga air minumnya hanya Rp 300 ribu.
Bagi Sri, pendidikan merupakan faktor penting dalam mengatasi krisis air. Banyak orang tidak mengetahui bahwa kita hidup di tengah krisis air, dan tanpa kesadaran ini, tidak ada solusi yang berkelanjutan terhadap krisis air ini. Kebiasaan membeli air dalam jangka waktu lama seringkali membuat masyarakat lupa akan krisis.
Laporan dari Sleman, Yogyakarta oleh Andreas Pamungkas.
(ck/ae)