Laporan Tribunnews.com Rina Ayu
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI), Komite Nasional Pengendalian Tembakau (Komnas PT), dan Center for Strategic Development Initiatives Indonesia (CISDI) merespons rencana pembatalan tersebut. kenaikan tarif cukai rokok pada tahun depan sebagai penghambat upaya perlindungan kesehatan masyarakat.
Rencana pemerintah untuk tidak menaikkan tarif cukai rokok akan mempersulit berbagai rencana pengendalian rokok dan berdampak negatif terhadap kesehatan masyarakat dan keuangan masyarakat.
“Menaikkan tarif cukai rokok merupakan cara paling efektif untuk mengurangi konsumsi rokok,” kata koordinator penelitian PKJS-UI Riskija Kusuma Hartono beberapa waktu lalu.
Ia menjelaskan, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sangat mengindikasikan bahwa kenaikan harga melalui kebijakan cukai merupakan salah satu strategi paling efektif untuk mengendalikan konsumsi rokok.
Indonesia saat ini merupakan salah satu negara dengan tingkat perokok tertinggi di dunia, dan tanpa tindakan tegas, jumlah ini akan terus meningkat.
Pihaknya juga menilai, berdasarkan penelitian PKJS-UI menunjukkan semakin mahal harga rokok, maka semakin kecil kemungkinan anak-anak untuk merokok.
Harga rokok yang murah juga menjadi faktor yang mendorong anak untuk kembali merokok setelah berhenti.
Terlepas dari aksesibilitas bagi anak-anak, masyarakat berpendapatan rendah mudah untuk membeli rokok sehingga menyulitkan mereka untuk berhenti merokok.
Studi PKJS-UI lainnya menunjukkan bahwa setiap peningkatan belanja rokok sebesar 1 persen meningkatkan kemungkinan terjadinya kemiskinan pada rumah tangga sebesar 6 poin persentase.
Artinya konsumsi rokok mempunyai dampak besar terhadap garis kemiskinan.
Kenaikan cukai ini tidak hanya sebagai sarana pengendalian konsumsi rokok, tetapi juga dapat meningkatkan pendapatan pemerintah yang dapat disalurkan untuk program kesehatan, pendidikan, dan perlindungan sosial. Presiden Jokowi didampingi Menteri Sekretaris Negara Pratikno dan Sekretaris Kabinet Pramono Anung memimpin rapat mengenai kebijakan pajak tembakau tahun 2023 pada Kamis (11/3/2022) di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat. ((Foto: Humas Sekretariat Kabupaten/Rahmat))
Uang yang diperoleh dari pajak rokok dapat digunakan untuk memperkuat pelayanan kesehatan, khususnya dalam pengobatan penyakit akibat rokok.
Presiden Komisi Nasional Pengendalian Tembakau Hasbullah Thabrany mengatakan praktik baik negara-negara yang berhasil menurunkan prevalensi merokok melalui instrumen cukai bisa dijadikan contoh.
“Mereka mengalokasikan pendapatan cukai untuk program pencegahan dan pengobatan penyakit terkait rokok,” tambahnya.
Studi CISDI (2021) menjelaskan bahwa konsumsi rokok menimbulkan beban biaya kesehatan sebesar Rp 17,9-27,7 triliun per tahun pada tahun 2019 akibat penyakit terkait rokok.
Jumlah Rp17,9 hingga 27,7 triliun setara dengan 61,75 hingga 91,8 persen dari total defisit Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada tahun 2019.
Artinya, pemerintah masih harus membuat harga rokok menjadi terjangkau untuk mengurangi beban kesehatan yang masih begitu tinggi.
Ketiga organisasi ini mendesak pemerintah, khususnya Kementerian Keuangan, untuk menurunkan prevalensi merokok dan memutus rantai biaya kesehatan akibat merokok yang jelas merugikan masyarakat dan perekonomian.
Caranya, dengan menaikkan tarif CHT secara bertahap pada tahun 2025, dimulai dari 25 persen di awal tahun, kemudian disesuaikan dengan inflasi ditambah 10 persen pada tahun berikutnya.