China Makin Mengancam, Indonesia dan ASEAN Perlu Tentukan Sikap Atas Ketegangan di Selat Taiwan

Kata Ketua Wartawan Tribunnews.com Al Arafin

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Indonesia dan negara-negara di kawasan Asia patut mewaspadai perselisihan antara China dan Taiwan yang terjadi belakangan ini.

Indonesia dan negara-negara ASEAN diminta mengambil tindakan khusus untuk mengatasi meningkatnya situasi di Selat Tawan akibat agresi Tiongkok yang terus berlanjut, termasuk perluasan kekuatan militer Tiongkok di kawasan tersebut dalam beberapa tahun terakhir.

Seorang mahasiswa Indonesia yang tinggal di Australia dan Taiwan, Rati Kabinwa, Ph.D., mencontohkan penyitaan kapal nelayan Taiwan oleh penjaga pantai Tiongkok sebagai indikasi jelas bahwa ketegangan antara Tiongkok dan Taiwan terlalu dibesar-besarkan oleh Indonesia. . Ini layak untuk didengarkan. dan negara-negara ASEAN lainnya.

“Tiga awak kapal nelayan tersebut berasal dari Indonesia. Indonesia harus berurusan dengan Tiongkok dan Taiwan untuk melindungi keamanan mereka, kata Rati Kabinwa pada konferensi “Ketegangan Selat Taiwan: Reaksi dan Implikasi Asia Tenggara bagi Indonesia” di Forum Sinologi Indonesia (FSI) dan dalam konferensi yang diselenggarakan oleh Paramadina. Universitas. Kampus Universitas Paramadina, Jakarta, Senin 5 Agustus 2024.

Ratih meyakini konflik Tiongkok dan Taiwan di Selat Taiwan akan sangat berdampak pada negara-negara ASEAN.

Di sisi lain, memanasnya situasi Selat Taiwan akan membuka pintu persaingan negara adidaya yang berdampak signifikan terhadap kawasan Asia Tenggara.

Sebaliknya jika konflik muncul di kawasan di atas, maka tidak menutup kemungkinan yang terkuat di ASEAN akan semakin kuat. Kamboja, Laos, Myanmar dapat mendukung Tiongkok.

Sementara itu, Vietnam dan Filipina kemungkinan akan menantang Tiongkok. Indonesia, Singapura, Malaysia, dan Thailand masih menjadi tanda tanya. 

Di sisi ekonomi, Ratih menekankan pentingnya pemerintah negara-negara ASEAN untuk mempertimbangkan apa yang akan mereka lakukan terhadap 700.000 pekerja migran asal negara ASEAN seperti Indonesia, Vietnam dan Filipina yang bekerja atau belajar di Taiwan.

Ia mengingatkan, ada 300.000 pekerja migran yang berasal dari Indonesia.

Oleh karena itu, Ratih memandang penting bagi negara-negara ASEAN untuk mengambil beberapa langkah guna menjamin stabilitas di kawasan Taiwan.

Ratih menekankan, dua diskusi berikutnya yang tidak hanya melibatkan pejabat pemerintah, tetapi juga akademisi dan komunitas mahasiswa, penting untuk pembangunan.

Menurutnya, pembicaraan tersebut bisa dilakukan secara berbeda, antara ASESN dengan China, antara ASEAN dengan Taiwan, dan lain-lain.

Ia juga menekankan pentingnya seruan negara-negara ASEAN untuk melarang penggunaan kekuatan militer untuk menyelesaikan masalah di Selat Taiwan, serta perlunya pemerintah negara-negara ASEAN untuk mempertimbangkan langkah-langkah untuk melindungi warga negaranya jika terjadi perang. itu terjadi

Tiongkok kini menjadi ancaman nyata bagi masyarakat

Guru Besar Hubungan Internasional Universitas Indonesia, Bruto Warduyo, Ph.D., menegaskan, menyikapi konflik baru antara Taiwan dan China, pemerintah Indonesia harus selalu mengikuti perkembangan.

Menurutnya, hal tersebut perlu dipahami agar pemerintah bisa cepat tanggap dalam melindungi WNI di Taiwan.

“Pemerintah Indonesia harus membayar lebih untuk melindungi keamanan PMI di Taiwan.” Dia membenarkan.

Penting bagi pemerintah Indonesia untuk memperkuat kemampuannya dalam merespon dengan cepat karena situasi di Selat Taiwan dan Laut Cina Selatan sulit diprediksi.

“Salah satu persoalannya adalah bagaimana kita bisa memastikan pemerintah kita selalu update mengenai masalah Taiwan. Seberapa kuat pernyataan yang kita buat, terutama kualitas tindakan/penggunaannya.

“Sekarang kita harus bertanya bagaimana pemerintah bisa menjamin keselamatan WNI di Taiwan.” Pertanyaannya, bagaimana Kementerian Luar Negeri menyelidiki 300.000 WNI tersebut? Selat Taiwan dan Laut Cina Selatan, ujarnya.

Berbeda dengan masa sebelum Presiden Xi Jinping berkuasa di Tiongkok, “saat ini Tiongkok sulit memahami apakah akan memberikan lampu hijau, kuning, atau merah,” ujarnya.

“Pandangan Tiongkok di sini masih menipu terkait persoalan Laut Cina Selatan dan Selat Taiwan. Kita tidak pernah menyangka bahwa kunjungan Nancy Pelosi (mantan Ketua DPR AS) ke Taiwan merupakan pertanda bahwa Taiwan sedang bergerak maju.

“Sulit bagi kami untuk memahami bagian mana yang merupakan garis merah atau garis biru Tiongkok.” Jika kita melihat pelatihan militer Tiongkok, hal itu mungkin saja terjadi,” katanya.

“Potensi konflik di Selat Taiwan lebih tinggi dibandingkan di Laut Cina Selatan karena Selat Taiwan milik Tiongkok adalah perairannya sendiri.

“Rasa teritorial Tiongkok lebih besar di Selat Taiwan dibandingkan di Laut Cina Selatan,” jelasnya. Karena itu, ia yakin Tiongkok menjadi ancaman yang semakin besar di kawasan.

Namun Bruto Wardevo juga menegaskan bahwa perilaku Tiongkok sedikit banyak dipengaruhi oleh tindakan kekuatan besar lainnya, Amerika Serikat. “Tidak ada yang bermain sendirian,” katanya.

Pembicara ketiga, Dosen Hubungan Internasional Universitas Paramdina, Muhammad Iksan, S.E., M.M. Laporan ini menekankan perlunya fokus pada dampak ekonomi dari konflik antara Tiongkok dan Taiwan.

“Taiwan mengendalikan semikonduktor dan ekosistem di dalamnya,” kata Exxon.

Ia juga berspekulasi bahwa mungkin saja salah satu motivasi Tiongkok memenangkan hati Taiwan adalah untuk menguasai ekosistem semikonduktor.

Ketua Sinology Forum Indonesia, Johannes Harlejanto, menegaskan kembali keprihatinannya tentang pentingnya ASEAN.

Terkait Ratih, ia memuji pernyataan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi beberapa waktu lalu terkait peristiwa Cross Street pada Agustus 2022 yang mendorong semua pihak untuk lebih menahan diri dan menahan diri melakukan tindakan ofensif.

Namun, menurut Johannes, seruan tersebut, yang menentang penggunaan kekerasan militer dalam menyelesaikan masalah antara Tiongkok dan Taiwan, harus terus didengar dan konsisten.

Ia juga percaya bahwa setiap negara ASEAN harus mendukung ASEAN dengan menunjukkan penolakan yang kuat terhadap pihak mana pun yang mencoba meningkatkan konflik, terutama dengan menggunakan agresi militer.

Oleh karena itu, ASEAN sebagai sebuah organisasi, dan masing-masing negara ASEAN secara terpisah, ingin terus menolak penggunaan kekuatan militer untuk menyelesaikan masalah antara Tiongkok dan Taiwan, ”pungkasnya.

Penolakan tersebut, seperti dijelaskan Bruto Wardyo, sejalan dengan semangat Indonesia yang pada tahun 2005 menunjukkan “dukungan kerja sama damai dengan China”.

Keterangan:

Seminar “Taiwan Strait Tension: Southeast Asian Response and Implications for Indonesia” yang diselenggarakan oleh Indonesia Forum for Scientology (FSI) dan Universitas Paramadina di Kampus Universitas Paramadina, Jakarta, Senin, 5 Agustus 2024. 

 Lampiran • Ditinjau oleh Gmail 

  

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *