Laporan reporter Tribunnews.com Nitis Hawaroh
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan mengaku di-bully karena tak menyetujui operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Hal itu diungkapkannya saat menjadi pembicara pada acara HUT Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) ke-52 di Hotel Fairmont, Jakarta Pusat, Senin (10 Juni 2024).
“Saya dulu pernah di-bully saat bilang kenapa Pak Luhut tidak setuju dengan OTT. Ya, saya tidak setuju. Kalau bisa tanpa OTT, kenapa bisa OTT,” kata Luhut.
Luhut pertama kali menjelaskan bahwa digitalisasi diperlukan di negaranya sendiri dan juga menjadi kunci pengurangan korupsi di Indonesia. Ia mencontohkan GovTech dan Simbara sebagai motor penggerak efisiensi negara ini.
Luhut mengklaim OTT KPK yang menggunakan sistem pendengaran justru dinilai tidak sopan. Sebab, diperlukan sarana intersepsi yang memicu korupsi.
“Anda adalah penduduk desa dan Anda sedang menyadap telepon. Hal berikutnya yang Anda ketahui saat mengetik adalah Anda berkata kepada istri Anda, ‘Wah, tadi malam menyenangkan Bu’, bukankah itu mengganggu? Maaf, itu tidak benar, jelas Luhut.
Namun jika mencegat Rp. 50 juta data karena berdampak besar terhadap tingkat korupsi, tambahnya menekankan.
Soal “koneksi” KPK, Luhut mengklaim KPK ikut terlibat dalam pembuatan e-katalog tersebut. Padahal, pemerintah bekerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mencegah korupsi.
“Begini, saya bilang masyarakat masih melihat KPK, KPK ini bonsai. Kenapa disebut bonsai? Inilah yang dilakukan e-katalog. KPK juga bekerja sama dengan kita dalam pencegahan, kita bahu-membahu untuk itu,” kata Luhut.
“Jadi saudara-saudara, sebagai sebuah bangsa, kita tidak boleh menganggap remeh bangsa kita sendiri,” lanjutnya.