TRIBUNNEWS.COM – Puteri Indonesia 1992, Indira Soediro bercerita tentang perjuangan 5 tahun atas wasiat orang tuanya yang digugat oleh adik laki-lakinya.
Izin orang tua diajukan pada tahun 2018, disarikan dari perbincangan dengan Maia Estianti di saluran TV Maya Aleldul yang ditayangkan pada Kamis (27/6/2024).
Ayah Indira meninggal pada tahun 2015 dan ibunya meninggal lebih dulu.
“Tidak masalah setelah orang tua saya meninggal, itu saja. Orang tua saya punya wasiat dan kami menerima hal yang baik,” ujarnya.
Indira tak merinci isi surat wasiatnya yang digugat sang adik.
Katanya juga bukan perang, kalau disebut perang ya tidak. Namun ketika ingin melanggar hak orang lain, hal itu tidak boleh terjadi.
“Menurutku apa yang diwariskan orang tuaku adalah hal yang baik. Aku sangat ingin mewujudkannya karena banyak hal baik yang mempunyai manfaat.”
“Orang tua saya mempercayakan saya pekerjaan pembangunan masjid ini dan sedekah. Sekarang saya tidak bisa melakukannya karena tuntutan hukum sudah diajukan atau dibatalkan.”
Indira berharap bisa duduk bersama saudara-saudaranya untuk menyelesaikan masalah tersebut.
“Yang terpenting adalah hubungan persaudaraan dan persahabatan. Sebaiknya kita duduk bersama dan berdiskusi, tidak saling menuntut, mencari tahu siapa yang salah, hak siapa, tanggung jawab siapa. Tapi semua bisa diselesaikan. Selanjutnya. Jalan damai ,” dia berkata. . Ditunggu partisipasinya dalam FGD UIN Jakarta
Indina baru-baru ini mengikuti Focus Group Discussion (FGD) yang diadakan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta bertajuk Implementasi Persetujuan Gender di Peradilan Agama dari Perspektif Hukum di Indonesia. Jumat (28/6/2024).
Indira datang ke acara tersebut karena rasa penasarannya terhadap aspek hukum dari permasalahan yang dihadapinya.
Ia merasa puas dan terinspirasi dengan pemaparan para pembicara yang hadir
Diantaranya adalah Wakil Dekan Departemen Syariah dan Hukum, United Nations Jakarta, Profesor Dr. Dr. Kamarusdiana, Wakil Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) DKI Jakarta, M. Dr. Asmavi Azad, MD
Selain itu, turut hadir pula Ustas Tufik Dama dan Notaris Widaninci Ruslan.
FGD ini dihadiri oleh banyak mahasiswa, aktivis perempuan, profesional hukum, dosen dan masyarakat umum.
Para pembicara memaparkan permasalahan implementasi keinginan di Indonesia dari sudut pandang keilmuan yang berbeda.
Mereka sepakat untuk memberikan keadilan hukum khususnya bagi perempuan.
Terkait permasalahan yang dihadapi Indira Sudiro, Profesor Kamarusdiana mendorong para notaris untuk berani menggugat atas akta notaris yang dibatalkan oleh pengadilan.
Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa akta notaris mempunyai kekuatan hukum dan dilindungi undang-undang
Dalam FGD, permasalahan hukum yang dihadapi Indira Sudiro dinilai aneh karena surat wasiat notaris dibatalkan pengadilan.
Memang menurut hukum Islam atau Kitab Undang-undang, suatu peraturan tidak dapat dibatalkan kecuali oleh seseorang yang menghendakinya berdasarkan alasan yang ditentukan dalam peraturan tersebut.
“Menurut saya ada ketidakadilan di sini, kalau dicermati kasusnya tidak berdasar,” ujarnya.
Indira menuturkan kepada awak media, “Kami memiliki banyak bukti yang ditolak pengadilan mulai dari tingkat pendahuluan hingga kasasi dan P.K.
Dari penjelasan para narasumber dalam acara tersebut, Indira Soudeiro semakin percaya diri dan termotivasi untuk terus memperjuangkan perintah orang tuanya tersebut.
“Ini kesempatan bagi saya untuk terus berjuang secara hukum. Saya akan mencari cara untuk berjuang karena ini keinginan orang tua saya,” ujarnya.
(Tribunnews.com/Gilang Putranto)