TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pendiri dan Associate Professor SBCC. Program Studi Arsitektur Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Dr. kata Eng. Beta Paramita menyatakan bahwa diperlukan upaya mitigasi yang realistis dan terstruktur untuk menciptakan lingkungan yang baik.
Tujuannya adalah untuk mencegah dampak kerusakan lingkungan yang timbul akibat berkembangnya lingkungan binaan di Indonesia.
Beta Paramita melaporkan hal tersebut pada FGD bertajuk ‘Rumah Modular Berbasis Baja Ringan: Ramah Lingkungan, Hemat Energi dan Biaya, Kuat, Ringan, Cepat, Sejuk’ di Jakarta. Acara tersebut dihadiri oleh perwakilan Kementerian PUPR.
“Menurut laporan Bank Dunia, dampak pulau panas perkotaan (urban heat island), terutama bila dipertimbangkan bersamaan dengan perubahan iklim, merupakan ancaman serius dan semakin besar terhadap daya saing, kelayakan hidup dan inklusivitas kota-kota di Asia Timur,” kata Dr. Kamis (16/5/2024).
“Yang mengkhawatirkan, kota-kota di Indonesia, Malaysia, dan Filipina adalah yang paling parah terkena dampak UHI, dengan rata-rata suhu permukaan tanah (LST) hingga 6,6 derajat Celcius lebih hangat dibandingkan pedesaan sekitarnya,” jelasnya.
Ia menjelaskan, menurut data Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP), diperkirakan 40 persen konsumsi energi dan 30 persen emisi gas rumah kaca berasal dari lingkungan binaan.
Pembangunan perumahan adalah salah satu contohnya.
Namun perumahan merupakan tipologi arsitektur yang beragam yang strukturnya ditentukan tidak hanya oleh mereka yang merancangnya, tetapi juga oleh pemanfaatan orang-orang yang menghuninya.
Dengan demikian, rumah pada hakikatnya adalah suatu struktur yang beradaptasi dan berubah seiring waktu dan penggunanya serta mengalami perubahan terus-menerus sebagaimana tercermin dalam gaya hidup.
Menurutnya, rumah yang dibangun saat ini tidak akan sama dengan rumah yang dibangun besok, sehingga harus ada pendekatan kritis dan mendalam terhadap perannya dalam lingkungan binaan.
“Dalam hal ini, rumah modular terus menampilkan dirinya sebagai pendekatan desain dinamis yang telah mengubah rumah konvensional, menciptakan solusi serbaguna untuk ruang dan praktik konstruksi berkelanjutan,” jelasnya.
Oleh karena itu, lanjutnya, rumah modular menjadi lahan subur untuk mengeksplorasi dan memperdalam cara hidup di luar angkasa dan memenuhi kebutuhan manusia.
“Dari pencatatan rumah yang diproduksi pada abad ke-19 hingga booming perumahan pasca Perang Dunia II, evolusinya mencerminkan usulan masa lalu dan mengeksplorasi ide-ide baru untuk masa depan yang ramah lingkungan,” jelasnya.
Sementara itu, General President ARMI Nicholas Kezuma menjelaskan, rumah modular merupakan rumah dengan konstruksi bangunan khusus yang terbuat dari bahan rakitan pabrik.
Rumah modular dibangun berbeda dari rumah standar.
Bagian-bagian seperti dinding, jendela dan pintu serta atap telah dibuat sebelumnya dan kemudian hanya perlu (dirakit) di lokasi konstruksi tanpa meninggalkan limbah.
Jenis konstruksi ini 50 persen lebih cepat dan membutuhkan material hingga 50 persen lebih sedikit, sehingga menghasilkan efisiensi biaya 50 persen dibandingkan konstruksi konvensional atau tradisional.
“Teknologi baru telah memungkinkan bangunan atau rumah modular dibangun lebih besar, lebih tinggi, dan dalam berbagai desain. Unit dapat dikirim ke seluruh negeri dan dirakit di lokasi dalam hitungan hari,” kata Nichols.
“Rumah modular ini dibangun menggunakan sistem yang melalui proses bertahap, yang kini menggunakan teknik modern seperti pemodelan digital 3D, sehingga memungkinkan kami merencanakan terlebih dahulu untuk melakukan prosesnya,” jelasnya.
Nicholas menambahkan, seiring dengan meningkatnya kebutuhan akan hunian di Indonesia, khususnya bagi masyarakat berpenghasilan rendah, maka rumah modular dengan struktur baja ringan (rangka baja) menjadi pilihan yang tepat.
Alasannya, selain menghemat energi dan biaya pengoperasian, rumah modular rangka baja ringan lebih kuat, ringan, lebih cepat dibangun, lebih sejuk, memiliki jejak karbon rendah, dan ramah lingkungan.
“Industri baja nasional dapat memenuhi kebutuhan rumah modular dengan struktur baja ringan sehingga memberikan nilai TKDN yang lebih tinggi dan meningkatkan utilisasi produksi yang pada akhirnya akan menggerakkan roda perekonomian sesuai dengan tujuan SDG,” jelas Nichols. .
“Selain itu, dampak urban heat island juga dapat dikurangi dengan penggunaan pelapis atap dan dinding yang dilapisi cat pemantul sinar matahari yang memiliki nilai SRI (solar reflectance index) yang tinggi,” imbuhnya.