Cawe-cawe Politik Lewat Revisi UU MK Dinilai Bisa Runtuhkan Independensi Mahkamah Konstitusi

Laporan reporter Tribunnews.com Gita Irawan

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Campur tangan politik lembaga legislatif (Pemerintah dan DPR) melalui Amandemen Keempat dinilai dapat melemahkan independensi Mahkamah Konstitusi (MK) dalam menjalankan aturan peradilan.

Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran, prof. Susi Dwi Harijanti, SH., OTK, Ph.D. menilai bahwa reformasi sistem hukum merupakan bagian penting dan penting dalam reformasi tahun 1998. 

Menurut dia, hal itu diperkuat dengan independensi peradilan yang dijamin dalam UUD 1945.

Alhasil, kata dia, dibentuk pengadilan khusus, termasuk MK. 

Ia mengatakan, dari sudut pandang hukum, Mahkamah Konstitusi dirancang untuk melindungi dan mengawasi Konstitusi. 

Lanjutnya, di bidang politik, Mahkamah Konstitusi dirancang untuk melindungi sistem politik demokrasi dan hak asasi manusia.

Namun, kata dia, yang terjadi sebenarnya adalah campur tangan politik terhadap independensi MK.

Ia mencontohkan, ketika Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga UU Mahkamah Konstitusi disahkan, setidaknya ada isu politik yang terjadi.

Hal tersebut ia sampaikan dalam webinar bertajuk Rahasia Amandemen UU Mahkamah Konstitusi yang diselenggarakan PSHK, STHI Jentera, dan CALS secara daring pada Kamis (16/05/2024).

“Kenapa saya bilang ini bentuk campur tangan politik? Karena tidak ada perubahan besar, semuanya menyangkut masa jabatan hakim, masa jabatan presiden dan wakil presiden, terganggunya syarat usia seseorang untuk menjadi hakim. hakim konstitusi,” kata Susi.

“Bisa dikatakan sebenarnya perubahannya tidak terlalu besar. Kita lihat juga pada perubahan keempat ini, perubahannya tidak terlalu besar,” lanjutnya.

Untuk itu, ia mengingatkan kepada pembentuk undang-undang (Pemerintah dan DPR) untuk memperhatikan putusan nomor 81 tahun 2023, khususnya UU Mahkamah Konstitusi Perubahan 3.16.

Dalam penelitian tersebut, ia menekankan argumen bahwa pengadilan harus menegaskan bahwa lembaga legislatif harus membuat batasan atau setidaknya menjadi acuan. 

Termasuk dalam batasan tersebut, lanjutnya, perubahan undang-undang tidak boleh melemahkan konsep dasar perubahan undang-undang yang dimaksud. 

Menurut dia, perubahan konstitusi, terutama terkait persyaratan usia, tidak boleh merugikan hak-hak pemimpin saat ini.

Artinya, jika Legislatif ingin mengubah ketentuan selain UUD 1945, termasuk mengubah masa jabatan atau masa jabatan. Perubahan ini seharusnya berlaku bagi hakim konstitusi yang diangkat setelah perubahan undang-undang,” kata Susi.

“Ini menjadi pengingat nyata bagi para pembuat undang-undang ketika ingin mengubah undang-undang Mahkamah Konstitusi,” lanjutnya.

Susi juga menyatakan, kisah tersebut melibatkan upaya rahasia partai politik untuk menyerang independensi peradilan, yang terjadi melalui Undang-Undang Reformasi Peradilan Amerika Serikat tahun 1937 atau lebih dikenal dengan “sentence padding plan”.

Sejarah menceritakan bahwa strategi pengisian pengadilan tidak lepas dari keinginan Presiden AS Franklin D Roosevelt saat itu untuk menambah jumlah hakim di Mahkamah Agung AS sebagai pengakuan atas serangkaian kebijakan Roosevelt yang disebut New Deal. .

Namun menurutnya, dalam RUU Peradilan saat ini, strategi pengisian pengadilan harus dimaknai lebih luas, tidak hanya sekedar memperbanyak jumlah hakim.

Namun, ini juga termasuk upaya memanipulasi keanggotaan lembaga peradilan untuk kepentingan partai. Ini masalah lain yang juga patut kita cermati, ujarnya.

“Jangan sampai ketentuan Pasal 23(A) dijadikan tameng penegakan hukum oleh lembaga legislatif. tujuannya? Itu untuk sekelompok orang,” lanjutnya. Ketua Mahkamah Konstitusi Suhartoyo memimpin sidang perselisihan pemilu 2024 di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (22 April 2024). Calon Presiden dan Wakil Presiden Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar, serta MD Ganjar Pranowo dan Mahfud hadir di sidang sidang penyelesaian perselisihan hasil Pilpres 2024. Tribunnews/Jeprima (Tribunnews/JEPRIMA)

Ia mengatakan, ketentuan Pasal 23A Rancangan Undang-undang Dasar dapat dimaknai memberikan kebebasan bagi lembaga pengusul hakim konstitusi (Presiden, DPR, dan Tampony Court) untuk menilai hakim konstitusi yang diangkatnya.

Oleh karena itu, ia khawatir ketentuan Pasal 23A rancangan konstitusi tersebut dapat menjadi cara pembungkusan rahasia di pengadilan, dan dapat dimanfaatkan oleh lembaga-lembaga pengusul hakim konstitusi.

Lembaga yang mengangkat hakim konstitusi diduga menggunakan ketentuan Pasal 23A UU Konstitusi untuk melakukan pembalasan terhadap hakim konstitusi yang telah mengeluarkan putusan atau menyatakan pendapat berbeda yang tidak dikehendaki oleh pihak yang mengajukannya.

Oleh karena itu, ketika ada penilaian yang akan dilakukan, pertanyaan kita adalah skor, standar atau ukuran apa yang digunakan oleh instansi pemerintah yang berkomitmen melakukan penilaian tersebut. Saya kira tidak semua lembaga yang memberikan penilaian tersebut, kata Susi.

Untuk itu, ia merujuk pada salah satu artikel Eric Hamilton di Stanford Law Review tahun 2012 yang berjudul Politisasi Mahkamah Agung.

Kata dia, arti kata tersebut adalah berbahayanya berpolitik di pengadilan karena membuat masyarakat rentan terhadap kudeta politik yang dilakukan oleh cabang politik.

“Dan jika pengadilan kehilangan kekuasaannya untuk mengontrol kekuasaan politik dan mengambil keputusan yang tidak populer, maka pengadilan tidak dapat menegakkan konstitusi secara efektif,” lanjutnya.

Oleh karena itu, DPR meminta MK berhenti melakukan politisasi agar independensi MK bisa pulih kembali.

Namun menurutnya, perkembangan independensi peradilan merupakan fenomena multifaset yang bergantung pada beberapa kondisi.

Kriteria tersebut antara lain mencakup jenis pemerintahan yang berkuasa, tingkat persaingan politik antar pemerintah yang berkuasa, dan kemungkinan konflik antar kelompok dalam koalisi.

– Terakhir saya katakan hentikan politik untuk mengembalikan independensi MK, ujarnya. Kasus Aswanto di Mahkamah Konstitusi

Seperti diberitakan sebelumnya, Jimly Asshiddiqie, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MKMK) Ad Hoc, pernah mengatakan, persoalan DPR RI adalah mencopot Hakim Aswanto dan menggantikannya dengan Guntur Hamzah.

Ia mengatakan pada awalnya bahwa Mahkamah Konstitusi dimaksudkan untuk menjamin terwujudnya kedaulatan negara.

Jimly menjelaskan, MK mempunyai 9 orang hakim, dimana 3 orang merupakan rekomendasi pemerintah, 3 orang merupakan rekomendasi DPR RI, dan 3 orang merupakan rekomendasi dari Mahkamah Agung (MA).

Ia mengatakan, DPR, pemerintah, dan Mahkamah Agung seharusnya hanya memilih orang-orang yang akan diangkat menjadi hakim MK.

Oleh karena itu, kata dia, hakim konstitusi tidak berasal dari lembaga tersebut melainkan direkomendasikan setelah melalui proses seleksi.

Namun, menurutnya DPR memang salah. 

Oleh karena itu, lanjutnya, DPR merasa tepat jika Aswanto dicopot dari jabatan hakim konstitusi dan digantikan dengan M Guntur Hamzah.

Hal itu disampaikan Jimly saat sidang Pemeriksaan Pedoman Perilaku dan Laporan Perilaku Hakim di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) Jakarta Pusat, Jumat (3 November 2023).

“Ingat. Sepanjang sejarah dunia belum pernah ada hakim yang didatangi. Tidak ada. Kalau benar presiden juga berhak mengingatkan, MA juga berhak mengingatkan, ini yang terjadi pada Pr Aswanto (dihapus DPR),” lanjutnya.

Keputusan DPR RI yang mencopot Aswanto sebagai hakim konstitusi sebelumnya dinilai kontroversial dan dinilai melanggar Pasal 23 ayat (4) UU Mahkamah Konstitusi 7 Tahun 2020.

Pasal tersebut menjelaskan bahwa pemberhentian hakim Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan melalui keputusan presiden atas permintaan atasan Mahkamah Konstitusi. 

Alasannya juga telah diatur secara terbatas dalam ayat 1 dan 2 Pasal 23 UUD.

“Pemberhentian dengan hormat dengan alasan apapun, termasuk meninggal dunia, mengundurkan diri, mencapai usia 70 tahun, sakit jasmani atau rohani,” demikian bunyi paragraf pertama Pasal 23 UUD.

Sementara itu, pemberhentian tidak dengan hormat dapat terjadi apabila seorang hakim konstitusi telah dijatuhi hukuman penjara sesuai dengan putusan akhir pengadilan, berperilaku tercela, tidak datang ke pengadilan tanpa alasan yang sah, melanggar sumpah atau janji, dan dengan sengaja mengelak. . Mahkamah Konstitusi dalam putusannya. Pemerintah dan DPR sepakat untuk membawanya ke paripurna

Sebelumnya diketahui juga, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Perdamaian TNI (Purn) Hadi Tjahjanto mengatakan, pemerintah sudah menerima hasil pembahasan perubahan Undang-Undang Keempat Nomor 24 Tahun 2003. Mahkamah Konstitusi (RUU MK) dalam panitia kerja (Panja).

Ia mewakili pemerintah bersedia mengirimkan hasil pembahasan RUU tersebut ke DPR RI.

Hal itu disampaikannya saat menghadiri Rapat Umum bersama Komisi III DPR tentang RUU Pengambilan Keputusan Tingkat Pertama tentang Perubahan Keempat Undang-Undang Mahkamah Konstitusi Nomor 24 Tahun 2003 di gedung DPR RI, Jakarta. pada Senin (13 Mei). /2024). 

Pemerintah sepakat untuk melanjutkan pembahasan dan pengambilan keputusan pada Tingkat II RUU Mahkamah Konstitusi pada Sidang Parlemen DPR-RI, ujarnya dalam keterangan resmi Bidang Humas dan Pertahanan Kementerian Hukum RI, Senin. (13 Mei 2024). 

Ia mengatakan, banyaknya poin-poin penting yang dibahas bersama untuk melakukan amandemen konstitusi akan memperkuat kehidupan berbangsa dan bernegara.

Selain itu, ia menyatakan akan terus memperkuat peran dan kerja MK sebagai pengawal Konstitusi.

“Pemerintah berharap dapat melanjutkan kerja sama yang telah terjalin antara DPR RI dan pemerintah untuk melanjutkan tegaknya negara kesatuan yang kita cintai bersama,” ujarnya. 

Workshop tersebut dipimpin oleh Wakil Ketua Komisi III DPR RI dari Fraksi Golongan Karya (Golkar) Adies Kadir dan Wakil Ketua Komisi III DPR RI Fraksi Gerindra Habiburokhman.

Laporan situs resmi DPR RI, Komisi III DPR RI dan pemerintah sepakat bahwa rancangan undang-undang tentang Mahkamah Konstitusi akan terus dibahas pada tingkat II di Majelis Parlemen DPR RI. 

Adies sebelumnya disebut telah meminta persetujuan anggota Komisi III dan Menteri Politik, Hukum, dan Perdamaian dalam rapat kerja di Nusantara II, Senayan, Jakarta, Senin (13 Mei 2024).

“Kami mohon persetujuan anggota Komisi III dan pemerintah jika pembahasan RUU ini dapat dilanjutkan pada tingkat II UUD DPR,” kata Adies.

Adies dikabarkan mengatakan, pada 29 November 2023, Panitia Kerja Komisi III DPR RI dan Dewan DIM menyetujui rancangan undang-undang Mahkamah Konstitusi dalam rapat pertamanya.

DPR dan pemerintah, kata dia, saat itu memutuskan pembahasan RUU UUD.

Saat itu, panitia kerja dikabarkan akan melaporkan hasil pembahasannya.

Partai-partai kecil itu juga dikabarkan menyampaikan pendapatnya kepada partai-partai kecil melalui perwakilannya dan menandatangani undang-undang yang dibuat Mahkamah Konstitusi saat itu.

Namun, pemerintah disebut tidak memberikan pendapat sedikit pun dan tidak menandatangani RUU tentang Mahkamah Konstitusi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *