TRIBUNNEWS.COM – Tepi Barat terancam menjadi “Gaza baru” setelah Israel melancarkan operasi militer di tanah Palestina.
Diplomat utama Uni Eropa, Joseph Borrell, pada hari Selasa menyinggung peningkatan kekerasan di Tepi Barat yang diduduki Israel.
Jumlah kekerasan di sana melonjak sejak pecahnya perang di Gaza pada 7 Oktober 2023.
“Israel membuka front baru dengan tujuan yang jelas, yaitu mengubah Tepi Barat menjadi Gaza baru, dengan meningkatkan kekerasan, mendelegitimasi Otoritas Palestina dan menggunakan provokasi untuk merespons dengan kekerasan,” kata Borrell pada pertemuan Liga Arab di Kairo, Mesir. . , dikutip Middle East Eyes.
Menurut Burrell, Israel terus menyampaikan kepada dunia bahwa satu-satunya cara untuk mencapai perdamaian adalah dengan mencaplok Tepi Barat dan Gaza. Tentara Israel membidik ke dekat kendaraan militer di jalan yang rusak akibat buldoser selama serangan di Jenin tengah di Tepi Barat yang diduduki pada 3 September 2024. (AFP/ZAIN JAAFAR)
Dia menuduh kelompok radikal di pemerintahan Israel berusaha menggagalkan pembentukan negara Palestina di masa depan.
Terkait negara Palestina, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan beberapa anggota kabinet melihatnya sebagai ancaman bagi Israel. Beberapa menteri Israel menyerukan peningkatan operasi militer di Tepi Barat.
“Jika tidak ada tindakan, Tepi Barat akan menjadi Gaza baru,” kata Burrell.
Menurut Burrell, pemukim Israel kini sedang mempersiapkan pemukiman baru di Tepi Barat.
Menurutnya, dunia internasional mengecam Israel, namun sulit bertindak.
Organisasi hak asasi manusia Israel Yesh Din mengklaim jumlah serangan pemukim terhadap warga Palestina di Tepi Barat akan mencetak rekor baru pada tahun 2023.
Setelahnya, Uni Eropa menyebut jumlah izin pemukiman yang dikeluarkan pada tahun 2023 merupakan yang terbesar dalam beberapa dekade.
Sekitar 490.000 pemukim Israel saat ini tinggal di permukiman Tepi Barat. Faktanya, pemukiman tersebut ilegal menurut hukum internasional.
Sementara itu, 3 juta warga Palestina tinggal di Tepi Barat. Mereka termasuk pengungsi Palestina yang diusir dari rumah mereka selama Nakba pada tahun 1948 dan Perang Enam Hari pada tahun 1967.
Sejak pecahnya perang di Gaza, Israel telah membunuh sedikitnya 662 warga Palestina di Tepi Barat. Ratusan orang, termasuk wanita dan anak-anak, ditangkap oleh pasukan Israel. Tepi Barat terancam dianeksasi oleh Israel
Menteri Pertahanan Israel Bezalel Smotrich mengungkapkan rencananya untuk mencaplok Tepi Barat sepenuhnya.
Juli lalu Smotrich mengakui bahwa ia ingin menjadikan Tepi Barat sebagai “bagian integral dari Negara Israel”.
Selain itu, ia mengaku tujuan hidupnya adalah mencegah berdirinya negara Palestina.
Smotrich meminta Netanyahu untuk secara resmi mencaplok Tepi Barat.
Para ahli memperingatkan bahwa pemerintah Israel telah mengambil langkah besar menuju aneksasi.
Israel mengalihkan kekuasaan dari Administrasi Sipil, otoritas militer di Tepi Barat, kepada pejabat sipil yang berada di bawah Smotrich.
Tindakan tersebut memberi Smotrich kekuasaan atas seluruh aspek kehidupan sipil di Tepi Barat, mulai dari penetapan peraturan pertanian hingga kehutanan dan lainnya.
Dengan langkah ini, Smotrich membuka jalan bagi pembangunan pemukiman baru dan aneksasi tanah Palestina.
“Sistem politik Israel yang membiayai dan membangun permukiman ilegal kini menghitung monster yang diciptakannya, yang diwujudkan dalam meningkatnya kekayaan kelompok sayap kanan fasis,” kata Abdeljavad, profesor filsafat dan budaya di Universitas Birzeit, dikutip Anadolu Agency.
“Pihak kanan tidak hanya ingin mengambil sebagian besar tanah di Tepi Barat dalam jangka panjang dan mencaploknya, tapi juga membersihkan Tepi Barat dari warga Palestina.”
Sementara itu, Mohammed Ayash, seorang analis kebijakan di al-Shabaqa, mengatakan bahwa semua tindakan Israel bertujuan untuk mengizinkan warga Palestina untuk tinggal di Tepi Barat sehingga mereka dapat mulai meninggalkan wilayah tersebut.
“Akan ada lebih banyak pembatasan terhadap warga Palestina yang tinggal di Tepi Barat dalam hal pergerakan mereka, akses terhadap tanah mereka dan kemampuan untuk membangun rumah baru, termasuk kemampuan mereka untuk hidup bermartabat, bebas dan bermartabat,” kata Ayash.
(Tribunnews/Februari)