Laporan reporter Tribunnews.com Fehmi Ramazan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Galaila Karen Kardinah atau Karen Agustiawan divonis 9 tahun penjara karena korupsi terkait pembelian proyek gas alam cair (LNG) di PT Pertamina. Periode 2011-2021.
Putusan tersebut dibacakan Ketua Hakim Mariono dalam sidang yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta Pusat, Senin malam (24/06/2024).
Dalam perkara ini, hakim menyatakan Karen terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan terus menerus sebagaimana tertuang dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum (CPP).
Hakim Marjono dalam putusannya mengatakan, “Terdakwa divonis 9 tahun penjara.
Selain hukuman penjara, Karen juga didenda 500 juta lira atas kasus tersebut.
Hakim mengatakan: “Dengan ketentuan bahwa denda tidak dibayarkan maka hukuman penjara akan diubah menjadi 3 bulan.”
Dalam praktiknya, hukuman yang dijatuhkan majelis hakim kepada Karen lebih ringan dibandingkan permintaan Jaksa Penuntut Umum (PU).
Sebelumnya, Karen Agustiawan divonis 11 hukuman penjara atas dugaan korupsi proyek gas alam cair (LNG).
Permintaan tersebut dibacakan tim jaksa penuntut umum KPK saat sidang perkara pada Kamis (30/05/2024) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) PN Jakarta Pusat.
Saat JPU KPK membacakan dakwaan terhadap Karen, ia mengatakan, “Tuntut terdakwa, berikan hukuman 11 tahun kepada terdakwa.”
Selain penjara, Karen harus membayar denda sebesar 1 miliar TDR, dan jika denda tersebut tidak dibayar, hukumannya akan diubah menjadi 6 bulan penjara.
Jaksa mengatakan: “Hukuman 1 miliar telah diubah selama enam bulan.
Karen kemudian diperintahkan membayar ganti rugi sebesar Rp 1.091.280.281,81 dan USD 104.016,65 dalam kasus ini.
Biaya penggantian harus dibayar paling lambat satu bulan setelah keputusan mempunyai kekuatan hukum tetap atau tetap.
“Jika tergugat tidak memperoleh kekuatan hukum tetap dalam jangka waktu satu bulan sejak putusan, maka harta bendanya dapat disita oleh penggugat dan dijual secara lelang untuk membayar penggantinya.” akan dijatuhi hukuman 2 tahun penjara.”
Karen yang duduk di kursi terdakwa dijerat jaksa dengan Pasal 2 ayat (1) Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan undang-undang. TIDAK. 20 Tahun 2001 tentang perubahan dan penambahan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Penghapusan Tindak Pidana Korupsi Zh. pasal 55 ayat (1) 1 KUHP dengan pasal 64 ayat (1) KUHP seperti pada dakwaan pertama.
Awalnya, JPU KPK bersikap sangat keras dan lunak terhadap Karen.
Karen dinilai sebagai pengelola negara yang tidak mendukung pemerintah dalam pemberantasan korupsi sehingga memaksakan tuntutannya sendiri.
Belakangan terungkap, dia sempat memberikan pernyataan beragam soal kasus tersebut.
Sementara untuk meringankan kasus tersebut, jaksa mengkaji ulang tindakan hormat Karen selama persidangan.
“Faktor-Faktor Yang Meringankan: Terdakwa Melakukan Ketenangan di Pengadilan.”
Terkait kasus ini, Karen sebelumnya didakwa menimbulkan kerugian negara lebih dari US$113,8 juta terkait dugaan korupsi proyek pengadaan LNG Pertamina periode 2011-2021.
Menurut jaksa, Karen dalam kasus ini dengan SVP Gas and Power PT Pertamina periode 2013-2014, Yenni Andayani, dan Direktur Gas PT Pertamina periode 2012-2014 Hari Karyuliarto senilai 1.699.00000000000000 dolar. Ia juga diperkirakan telah memperkaya Corpus Christi Liquefaction (CCL) sebesar $113,83 juta.
Menurut jaksa, PT Pertamina membeli LNG untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri pada periode 2011 hingga 2021.
Namun Karen tidak meminta tanggapan tertulis dari Dewan Komisaris PT Pertamina dan persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
Meski tanpa tanggapan dewan komisaris dan persetujuan RUPS, Yeni mewakili Pertamina menandatangani perjanjian jual beli LNG dengan Corpus Christu Liquefaction.
Belakangan, Harry Carjuliarto menandatangani pembelian LNG tahap kedua yang juga tidak didukung persetujuan Direksi PT Pertamina dan tanggapan tertulis Dewan Komisaris serta persetujuan RUPS PT Pertamina.
Selain itu, pembelian tersebut dilakukan tanpa adanya ikatan kontrak dengan pembeli LNG.