Laporan jurnalis Tribunnews.com Aysia Nursyami
TRIBUNNEWS.
Kegiatan ini dilaksanakan mulai tanggal 28 November 2024 hingga 2 Januari 2025 bekerja sama dengan 76 Unit Pelaksana Teknis (UPT) BPOM se-Indonesia.
Peningkatan pengawasan terhadap pangan olahan ditujukan terhadap pangan olahan dalam kemasan yang tidak memenuhi ketentuan, yaitu tanpa izin edar (TIE)/ilegal, kadaluwarsa, dan rusak di fasilitas distribusi.
Pengawasan dilakukan pada seluruh rantai pasok pangan mulai dari fasilitas hulu hingga industri hilir yaitu importir, distributor, dan pengecer.
Dari hasil pemeriksaan tahap 3 yakni hingga 18 Desember 2024, kami menemukan 838 fasilitas atau 27,94 persen menjual produk tidak sesuai aturan atau TMC dengan total keuntungan 86.883 unit, jelas Kepala BPOM Taruna. Ikrar, demikian laman resminya seperti yang diterima, Minggu (22/12/2024).
Menurut Taruna, terjadi peningkatan pada tahun ini dibandingkan tahun lalu peningkatan pemeriksaan pangan yang menyasar 2.438 fasilitas.
Jumlah objek yang diperiksa sebanyak 23%, total objek yang diperiksa sebanyak 2999 objek.
Fasilitas tersebut terdiri dari 1.155 dealer modern, 1.277 dealer tradisional, 532 gudang distributor, 26 gudang impor, dan 9 gudang e-commerce.
Kegiatan intensif ini akan berlanjut hingga Tahap 5 (2 Januari 2025).
Hasil pemantauan tahun ini juga menunjukkan objek TMC mengalami penurunan sebesar 2,04 persen dibandingkan tahun lalu (dari 29,98 persen pada tahun 2023 menjadi 27,94 persen pada tahun 2024).
“Secara keseluruhan, hasil peningkatan pemeriksaan pangan pada tahun ini menunjukkan pelaku usaha patuh terhadap pembinaan intensif BPOM,” imbuhnya.
Selain itu, perlunya peningkatan penggunaan cara distribusi pangan olahan (CPerPOB) oleh pelaku usaha dan pentingnya kolaborasi dengan pemangku kepentingan, lanjut Kepala BPOM Taruna Ikrar.
“Pemeriksaan juga ditujukan ke pasar-pasar untuk menjamin keamanan produk pangan olahan yang dijual secara online,” jelas Kepala BPOM Taruna Ikrar saat mengeluarkan siaran pers di kantor BPOM, Jumat (20/12/2024).
Berdasarkan hasil ketidakpatuhan pada makanan olahan, jenis makanan TMC yang paling banyak ditemukan adalah periode sebesar 63,13 persen.
Makanan yang diawetkan banyak ditemukan di daerah Manotwari, Kupang, Belu dan Ende di Nusa Tenggara Timur, Maluku Utara.
Minuman bubuk rasa, konsentrat/jus/minuman jus, pasta dan pouch mendominasi produk-produk yang sudah kadaluwarsa.
Penemuan terbesar kedua adalah pangan TIE sebesar 32,27 persen yang terdapat di wilayah Sumatera (Palembang, Rejang Lebong, Belitung dan Batam) dan Kalimantan (Tarakan).
Sedangkan pangan terdampak sebesar 4,61 persen terdapat di Kabupaten Padang, Pangkalpinang, Palopo, Ambon, dan Manokwari.
BPOM juga melakukan patroli siber pada penguatan pengawasan pangan dan menemukan 10.769 link penjualan produk TIE di platform e-commerce.
Data tersebut menunjukkan penurunan sebesar 36,8 persen dibandingkan tahun sebelumnya (17.042 referensi).
BPOM telah berkoordinasi dengan Asosiasi Perdagangan Elektronik Indonesia (ide) untuk mengurangi/menghilangkan kaitan dengan apa yang disebut penjualan produk TIE.
Total nilai ekonomi dari temuan tersebut diperkirakan sekitar Rp 22,8 miliar berdasarkan temuan lembaga pengawasan dan patroli siber.
Nilai finansial hasil patroli siber lebih besar atau Rp 22,2 miliar dibandingkan nilai finansial hasil pemantauan objek yang lebih dari 600 juta.
Selain itu, BPOM mengimbau masyarakat menjadi konsumen yang cerdas.
Dengan belajar membaca informasi pada label dengan cermat, Anda dapat membuat pilihan makanan yang seimbang.
BPOM juga menghimbau masyarakat untuk selalu “KLIK Check” (Kemasan, Pelabelan, Izin Edar dan Tanggal).