Bos Sritex Sebut Permendag 8 Jadi Batu Sandungan: Pengusaha Tekstil Banyak yang Bangkrut

TRIBUNNEWS.COM – CEO PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), Iwan S Lukminto mengaku perusahaannya bangkrut karena terpengaruh aturan pemerintah.

Hal itu dikatakan Iwan usai Sritex dinyatakan pailit berdasarkan putusan Pengadilan Negeri (PN) Semarang perkara 2/Pdt.Sus-Homologasi/2024/PN Niaga Semarang, Senin (21/10/2024). 

Iwan mengatakan, selain Sritex, banyak perusahaan tekstil lain yang gulung tikar.

Apalagi sejak disahkannya Undang-Undang Kementerian Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 menjadikan produk tersebut legal dan legal untuk dijalankan oleh pengusaha lokal.

“Undang-undang Bisnis Perdana Menteri 8 adalah masalah umum dan kita sudah mengetahui semuanya, jadi lihat saja berapa banyak pengguna yang terkena (bisnis/penutupan).

“Hambatannya banyak yang ditutup, jadi (hasilnya penting),” kata Iwan, Senin (28/10/2024). Iwan bertemu dengan Kementerian Perindustrian

Usai kabar Sritex bangkrut, Iwan meminta bertemu Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartassmita di Jakarta, Senin.

Iwan menjelaskan, Kementerian Perindustrian dan pemerintah juga akan menyiapkan rencana penyelamatan industri TPT.

Untuk itu, Iwan menyerahkan tugasnya ke Mabes terkait hal tersebut.

Dalam pertemuan tersebut, Iwan mengatakan pihaknya akan terus bekerja sambil menunggu instruksi lebih lanjut dari pemerintah.

 “Arahan Menteri untuk terus berlanjut, harus dilakukan dengan baik.”

“Jadi kinerja kami cukup baik saat ini,” kata Iwan.

Dalam pertemuan tersebut, kata Iwan, pihaknya dan pemerintah akan menyusun rencana besar agar industri TPT bisa terus berkembang.

Fokusnya kini tertuju pada pekerjaan.

“(Idenya) belum tegas, nanti akan ada pembahasan lebih lanjut.”

“Saya menyebutnya ide besar, bagaimana menyatukan semuanya, jadi jangan setengah hati merencanakannya, (tapi bagaimana) bisa diharapkan dari komunitas yang tepat. Itu kabar baik,” kata Ivan.

Soal kapan rencana ini akan dilaksanakan, Iwan meminta masyarakat menunggu detailnya.

“Pertandingan lima hari itu besar. Waktunya belum tiba, tapi sebentar lagi,” jelas Iwan.

Sritex Group yang mempekerjakan 50.000 karyawan akan terus berupaya untuk bekerja sama di masa depan.

 “Kami belum mengajukan (permintaan), nanti kami akan bertemu lagi dengan direktur. Bisnis berjalan seperti biasa.”

“Ada 50.000 orang yang bekerja di perusahaan Sritex. Oleh karena itu, kami ingin menjadi bagian dari perusahaan Sritex. Kami memiliki karyawan manajer dan direktur. Katanya. Kebangkrutan Sritex

PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex, perusahaan pakaian yang dikenal dengan nama “Raja Kain” dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Negeri (PN) Semarang, Jawa Tengah.

Pasca penolakan Sritex pada Juni 2024, kabar ini tak lagi terlihat.

Keputusan masuknya Sritex ke bisnis tersebut berdasarkan putusan perkara 2/Pdt.Sus-Hologasi/2024/PN Niaga Smg yang diajukan oleh Ketua Hakim Moch Ansor pada Senin (21/10/2024) dengan permohonan PT Indo Bharat Rayon .

PT Sri Rejeki Isman Tbk, PT Sinar Pantja Djaja, PT Bitratex Industries, dan PT Primayudha Mandirijaya menemukan responden tidak memenuhi kewajiban membayar pemohon sesuai keputusan homologasi yang tercatat pada 25 Januari 2022.

Kabar dari Presiden Gabungan Perusahaan Industri Indonesia (KSPN) Ristadi, utang Sritex mencapai Rp 25 triliun.

Padahal asetnya hanya berkisar Rp 15 triliun.

 Jadi, berdasarkan informasi yang saya terima beberapa waktu lalu, Sritex Group punya banyak utang, lebih banyak dari asetnya, kata Ristadi, Kamis (24/10/2024).

Jika Sritex bisa memenuhi kewajibannya sesuai kesepakatan, kata Ristadi, situasi seperti itu bisa dihindari.

Namun syarat tersebut belum terpenuhi sehingga peminjam yang beritikad buruk terpaksa mengajukan pailit.

“Seorang debitur yang didakwa pailit akan menjadi tidak sabar dan mungkin membutuhkan uang untuk perusahaannya, sehingga ia akan mengajukan pailit,” kata Ristadi.

Kondisi tersebut dapat mengancam ribuan karyawan Sritex.

Faktanya, pekerja potensial semakin tersingkir. 

“Akhirnya para pekerja akan terancam pengangguran dan pada saat yang sama mereka tidak akan menerima gaji karena barang yang dijual akan digunakan untuk membayar hutang, terlepas dari bank, pajak atau kantor penjualan.”

Ristadi mengatakan sebagian besar pembayaran akan tertunda.

(Tribunnews.com/Galuh Widya Wardani/Lita Febriani/Endrapta Ibrahim Pramudhiaz)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *