Bos Smelter Suwito Berurai Air Mata dalam Sidang Korupsi Timah: Kakek Saya Penambang di Babel

Wartawan Tribunnews.com melaporkan Rahmat W Nugraha.

TRIBUNNEWS.COM, Jakarta – Rabu (12/4/2024) Komisaris Suwito Gunawan dari perusahaan smelter swasta PT Stanindo Inti Perkasa (SIP) menangis saat sidang korupsi perdagangan timah di Pengadilan Tipikor Jakarta.

Hal itu terjadi saat dia bersaksi di persidangan.

Ia menggambarkan para penambang di masyarakat Bangka Belitung (Babel).

“Tentang kerusakan lingkungan Saya ingin bertanya sebagai saksi Pak Suwito dan Bu Rosa sudah lama tinggal di Babel.” tanya Indarto dalam sidang lanjutan kasus korupsi perdagangan timah di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (12/4/2024).

General Manager (GM) terdakwa PT Tinindo Internusa Rosalina menyatakan, dia bukan berasal dari Bangka Belitung.

Sementara itu Terdakwa Suwito mengungkapkan dirinya berasal dari Bangka Belitung.

Pengacara kemudian menanyakan kerusakan lingkungan.

Jaksa menuduh penambangan timah ilegal telah menyebabkan kerusakan lingkungan yang parah di Kabupaten Bangka Belitung.

“Yang ingin saya tanyakan kepada saksi adalah dia orang Babilonia sejak lahir. Bisakah Anda menjelaskan faktanya? Dimana kerusakannya? Apakah ini sudah terjadi sejak lama?” tanya pengacara.

Suwito menjelaskan, kerusakan lingkungan sudah terjadi sejak lama.

Penambangan di Babilonia sudah ada sejak masa Sriwijaya. Belanda

“Belanda membawa nenek moyang saya untuk membangun Bangka. Kakek saya adalah seorang penambang. Sejak tahun 2000 masyarakat diberi kesempatan untuk menambang. Setelah kita menjadi Babel Itu yang terjadi,” kata Suwito.

“PT Timah melepas dengan mengatakan cadangannya sudah habis. Mereka tidak mau membayar royalti. Setelah kita menjadi sebuah provinsi Provinsi baru juga memberikan IUP kepada perusahaan swasta dan PT Timah tidak membayar royalti,” jelasnya.

Namun Suvito mengatakan mereka membayarnya kembali setelah smelter tersebut dibuka untuk pihak swasta.

Timah yang merupakan komoditas strategis menjadi satu-satunya komoditas yang diperiksa.

“Kami telah terlibat sejak saat itu,” katanya.

Pengacara kemudian menanyakan apakah masih ada tumpang tindih sengketa di lingkungan PT Timah IUP.

“PT Timah sebagian besar melepas IUP-nya di daerah miskin atau bekas pertambangan. Kakek saya menggunakan cangkul dan pengki untuk menggali. Seiring berjalannya waktu, dibuka kawasan baru dengan alat berat,” kata Suvito.

“Saat saya bekerja sebagai kontraktor di Bang Katin. Harga timah adalah $3.000 per ton. Sekarang harganya $30.000 per ton,” jelasnya.

Suara Suwito kemudian melunak. Lalu dia menyeka air matanya dengan tisu.

“Dengan kenaikan harga Masyarakat kembali ke daerah miskin dan bekas pertambangan. Masyarakat kita kurang lebih menambang timah. Tanpa manusia, timah tidak akan ada. Ini akan terjadi,” katanya.

Untuk informasi sesuai aduan jaksa Kerugian keuangan negara akibat penanganan kasus timah ini mencapai Rp300 triliun.

Perhitungan ini berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan Perhitungan Kerugian Keuangan Negara dalam Kasus Timah nomor: PE.04.03/S-522/D5/03/2024, tanggal 28 Mei.

Kerugian negara yang disebutkan oleh para pelapor antara lain hilangnya kerjasama dalam penyewaan peralatan dan pembayaran bijih timah.

Tidak hanya itu Jaksa juga mengungkapkan kerugian negara akibat kerusakan lingkungan mencapai Rp271 triliun. Para ahli lingkungan hidup mempertimbangkan hal ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *