BNN Aceh periksa kuliner yang dicurigai pakai ganja – Bagaimana sejarah ganja dalam hidangan tradisional Aceh?

Ganja telah hadir selama ratusan tahun dalam tradisi dan khazanah kuliner masyarakat Aceh. Namun peraturan hukum yang mengklasifikasikan ganja sebagai obat telah membatasi penggunaannya di Indonesia. Meski beberapa negara mulai mengizinkannya. Bagaimana sejarah ganja dalam masakan tradisional Aceh? BBC News Indonesia mewawancarai berbagai pihak untuk menggali perspektif berbeda.

Badan Narkotika Nasional Aceh (BNNP) mencanangkan program pemantauan dan pengujian produk pangan di Aceh yang diduga menggunakan ganja dalam pengolahannya.

Kabar tersebut sampai ke telinga Iswadi, pemilik Restoran Mi Kembang Tanjung yang berlokasi di Kecamatan Keutapang, Aceh Besar.

Iswadi tak memungkiri, masih ada masyarakat di Aceh yang memanfaatkan ganja untuk makanan. Namun, kata dia, penyalahgunaan tersebut tidak boleh digeneralisasikan hingga merusak citra kuliner Aceh.

“Untuk masak di desa bisa pakai [ganja], tapi mie Achen jarang yang pakai. Ada satu, dua, tiga yang pakai, [tapi] kami tidak,” kata Iswadi, 34, pedagang mie Achen. dicampur dengan makanan laut, jamur dan banyak lagi.

Mi sakit merupakan makanan tradisional yang terkenal di seluruh Indonesia. Hampir setiap kota besar memiliki restoran mie Achen yang biasanya disajikan dalam kuah, tumis, atau tumis.

Sejak memulai karir kulinernya dengan mie Aceh pada tahun 2005, Iswadi mengaku tidak pernah menggunakan ganja dalam bumbu masakannya.

“Kami tidak menggunakan damar (ganja). Kami menggunakan yang alami. Dari awal kami menggunakan rempah-rempah tradisional secara turun-temurun,” kata Iswadi.

Takaran bumbu yang tepat dan waktu memasak yang tepat, kata Iswadi, menjadi kunci menghasilkan mie Achen yang nikmat tanpa penggunaan ganja berlebih.

Untuk mengetahui lebih dalam, BBC News Indonesia berbincang dengan Ratna Dwikora, pemilik Mi Aceh Seulawah yang memiliki cabang di Jakarta.

Ratna yang memulai usaha dapurnya pada tahun 1996 ini mengatakan, berbagai kuliner yang ditawarkannya menggunakan resep khusus warisan nenek moyang.

Tapi tidak dengan ganja, kata Ratna.

Ratna mencontohkan, untuk membuat mie aceh yang enak ia menggunakan 24 bumbu mulai dari cengkeh, kapulaga, jintan, merica, ketumbar, kayu manis, pala, dan bahan lainnya.

“Saya belum pernah menggunakannya [ganja] dan tidak mudah menemukannya.”

“Sejak awal kami menggunakan rempah-rempah yang memberikan pengaruh kuat pada makanan. Artinya menciptakan cita rasa pedas dan khas karena masakan Achen banyak dipengaruhi oleh India dan Arab,” kata Ratna.

Meski demikian, Ratna tak memungkiri bahwa dulu ganja merupakan salah satu bumbu masakan tradisional Achen.

“Kalau menurut nenek saya, bijinya [ganja] digunakan untuk melunakkan daging. Jadi untuk masakan kari dan sejenisnya. Ganja juga menimbulkan rasa pedas. Sekarang orang menggunakan MSG [zat penyedap], jadi mungkin biji ganja saja sudah cukup. ” dia berkata.

Selain keistimewaan tersebut, kata Ratna, ganja bukanlah tanaman ilegal dan mudah ditemukan.

Nenek moyang di Aceh, kata Ratna, menanam ganja sebagai pendamping tanaman tembakau “agar hama yang menyerang ganja, bukan pohon tembakau.” pohon ganja,” kata Ratna. Apakah ganja digunakan dalam saus beulangong?

Selain mie Achen, makanan yang sering disebut-sebut menggunakan ganja adalah sup beulangong (panci atau kuali).

Dalam sejarahnya, dikutip dari website Kemendikbud, makanan ini merupakan perpaduan antara daun kari pedagang India dengan bumbu khas nusantara.

Dulu, sup beulangong menggunakan biji ganja dalam daftar bumbunya. Biji ganja yang digiling membuat daging lebih empuk dan juga berfungsi sebagai penambah rasa bahkan dianggap sebagai pengawet alami.

Namun, apakah ganja masih digunakan dalam masakan ini sampai sekarang? BBC News Indonesia bertemu Tarmizi, 44, pemilik restoran Dek Gam 2 yang berlokasi di Aceh Besar.

Restoran ini menjadi tujuan kuliner para wisatawan mancanegara ketika datang ke kota Banda Aceh.

Di dalam restoran yang berbentuk seperti rumah adat Aceh ini, beberapa pekerja sibuk menyiapkan masakan khas Aceh yang terkenal kelezatannya dan telah diakui oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia, yang yaitu, sop beulangong pada hari Jumat (24/05).

Para pekerja bergantian meracik gulai yang berisi daging kambing dan nangka muda ini.

Pembeli juga bisa melihat langsung bumbu-bumbu yang digunakan, seperti ketumbar, kelapa sangrai, dan puluhan bumbu lainnya.

Seperti mie Achen, yang membuat sop beulangong enak bukan ganjanya, kata Tarmizi, tapi takaran bumbunya yang pas.

“Saus manisnya pakai bawang bombay enak, sambalnya enak, Insya Allah sambalnya enak,” kata Tarmizzi yang meneruskan usaha kakeknya pada tahun 1990-an itu.

Kemudian, untuk membuat daging empuk, Anda harus mengaduk dan memasaknya, minimal dua jam. “Kalau terlalu keras, pakai daun pepaya saja,” ujarnya.

Di sela-sela aktivitasnya melayani pelanggan, Tarmizi membantah masih ada penggunaan ganja dalam pembuatan sop beulangong.

“Bukan orang dewasa yang makan, tapi semua anak muda. Tapi ada anak-anak, ada ustadz. “Kalau yang seperti itu kalau kita taruh semua, nanti jadi rusuh orang, saya juga tidak berani memakannya,” kata Tarmizi. Bagaimana sejarah penggunaan ganja di Aceh?

Meski kini sejumlah chef mengaku tak lagi menggunakan ganja, namun tanaman ini sudah ratusan tahun hadir dalam khazanah tradisi dan kuliner masyarakat Aceh.

Mulai dari sejarah nenek moyang, naskah kuno kerajaan hingga catatan sejarah kolonial Belanda, ganja sudah menjadi bagian dari perjalanan budaya masyarakat Aceh.

BBC News Indonesia bertemu dengan pakar budaya Aceh dan kolektor naskah kuno Tarmizi Abdul Hamid di kediamannya.

Rumah Chek Midi, demikian sapaan akrabnya, memiliki lima ruangan kaca khusus yang menampung naskah kuno Kesultanan Aceh dan kitab suci kuno Alquran.

Pemilik naskah Aceh, Rumo, mengatakan penggunaan ganja dipengaruhi oleh kehidupan sosial budaya masyarakat Aceh yang dulunya akrab dengan sumber daya alam yang melimpah.

“Mereka menggunakan rempah-rempah alami, termasuk ganja, untuk kehidupan, mulai dari pertanian, obat-obatan, hingga seni kuliner,” katanya.

Pipi Midi mengacu pada dua kitab yang dimilikinya, yakni kitab Tajul Muluk dan kitab Ar-rahmah Fil Tib Wal Hikmah Teungku Chiek Abbas Kuta Karang.

Dalam catatan para cendekiawan Muslim berabad-abad yang lalu, disebutkan bahwa ganja memiliki khasiat obat, seperti diabetes atau kencing manis.

“Jus, kulit [ganja] yang dikeringkan atau dihaluskan bisa menjadi penetral darah yang manis,” kata Chek Midi.

Ganja juga dikatakan dapat mengobati sakit perut dan meningkatkan sirkulasi.

Selain itu, ganja juga digunakan untuk penyembuhan luka. Menurutnya, pada masa penjajahan Belanda, penduduk Aachen menggunakan ganja untuk mengobati luka tembak.

Caranya dengan menggiling daun ganja lalu mengoleskannya pada area yang terkena.

Ganja digunakan sebagai obat merah yang mengencangkan luka, ujarnya.

Menurut situs resmi Lingkar Ganja Nusantara, Kitab Tajul Muluk merupakan naskah kuno asli Arab, dibawa ke Aceh oleh saudagar dan saudagar dari Persia dan Rum (Turki) sekitar abad ke-16.

Teks asli naskah kuno ini aslinya ditulis dengan tangan menggunakan huruf dan bahasa Arab, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu.

Dalam artikel Dany Putra dan Tom Blickman berjudul “Mariyuana di Indonesia: Pola Konsumsi, Produksi, dan Politik”, masyarakat Aceh menggunakan biji ganja untuk meningkatkan cita rasa, kelembapan, dan terkadang warna masakan lokal seperti kari kambing. dan mie Aceh.

Selain untuk jamu, lanjut Chek Midi, masyarakat Aceh juga memanfaatkan ganja untuk keperluan kuliner, seperti melunakkan daging, mendinginkan makanan, dan sebagai penyedap rasa.

Biji ganja digiling menjadi bumbu yang memberikan rasa yang luar biasa pada makanan. Daun ganja digunakan untuk membungkus makanan agar tahan lebih lama.

Masakan yang menggunakan ganja, kata dia, sebagian besar berupa daging.

Di bidang pertanian, kata Chek Midi, ganja digunakan sebagai bahan pengendali hama tanaman yang menjadi andalan masyarakat Aceh.

“Jadi, ganja dalam naskah kuno Aceh digunakan untuk kebaikan manusia, bukan untuk hal-hal negatif,” ujarnya.

Senada dengan itu, Fadli Rahman, sejarawan kuliner Universitas Pajajaran, menilai ganja termasuk dalam kategori rempah-rempah masyarakat Aceh zaman dahulu, seperti lada, kacang-kacangan, dan rempah-rempah lainnya.

“Tidak adanya ganja dalam makanan dan minuman di Aceh adalah sesuatu yang tidak memiliki semua rasa, dan itu merupakan bagian yang tidak terpisahkan,” kata Fadli.

“Seperti orang Sunda yang punya sayuran segar, mereka punya ganja untuk digunakan.”

Selain kitab Tajul Muluk, kata Fadly, penggunaan ganja ditemukan di Aceh sebelum Maluku berdasarkan catatan ahli botani Jerman yang bekerja di VOC pada abad ke-17, GE Rumphius.

“Masyarakat Aceh sudah turun temurun menggunakan ganja, dan sekarang sudah tidak masuk akal lagi kalau ganja termasuk dalam kategori NAPZA,” ujarnya.

Namun penggunaan ganja mulai menurun pada akhir masa penjajahan Belanda hingga akhirnya dilarang secara nasional setelah Presiden Soeharto mengeluarkan Undang-Undang Narkotika Nomor 8 Tahun 1976.

“Dalam dunia kuliner, pelarangan ini menyebabkan ganja dan tanaman sejenisnya menurun popularitasnya karena masyarakat takut untuk mengkonsumsinya,” kata Fadli.

UU Narkotika merupakan aplikasi ratifikasi internasional Konvensi Tunggal Narkotika yang memasukkan ganja sebagai narkotika setara opium (papaver) dan kokain (coca) pada tahun 1961.

Undang-Undang Narkotika Nomor 35 Tahun 2009 menggolongkan ganja ke dalam golongan Narkoba Golongan I. Penggunaan ganja dalam bentuk apa pun dan untuk tujuan apa pun diancam dengan pidana penjara paling lama 12 tahun atau penjara seumur hidup. Mengapa BNNP Aceh melakukan tes terhadap makanan yang diduga mengandung ganja?

BNN menyoroti Aceh karena provinsi tersebut merupakan salah satu daerah dengan tingkat kejahatan narkoba tertinggi di Indonesia.

Menurut BNN, Aceh menempati peringkat ke-12 dengan total kasus narkoba dan zat adiktif lainnya sebanyak 1.410 kasus pada tahun 2022.

Selain itu, menurut data tersangka narkoba tahun 2023, Aceh menempati urutan ke 11 dengan jumlah tersangka sebanyak 1.975 orang.

Salah satu upaya pemberantasan narkoba yang dilakukan BNNP Aceh adalah dengan memantau dan menguji produk yang diduga menggunakan ganja dalam pengolahannya.

“Program ini merupakan wujud keseriusan dalam mewujudkan Indonesia [cerah], khususnya di Provinsi Aceh,” kata Kepala BNNP Aceh Brigjen Marzuki Ali Basia dalam siaran pers yang diperoleh BBC News Indonesia.

Selain itu, program ini juga bertujuan untuk menyukseskan perhelatan PON XXI yang menjadi tuan rumah bagi Aceh dan Sumut.

“Kapan dan dimana dirahasiakan karena pemeriksaan ini bersifat mendadak,” kata Marzouki. [Eliminasi Ganja dalam Makanan, Kepala BNNP Aceh Akan Lakukan Tes] https://t.co/4k5TDk0f7n@INFOBNN#Indonesiabersinar#acehbersinar pic.twitter.com/je3KbhaCUr — BNN Aceh (@BnnAceh) 8 Mei 2024

Marzouki mengatakan, pemeriksaan ini bertujuan untuk menghilangkan stigma negatif bahwa ganja digunakan dalam berbagai jenis makanan achene.

Ia menambahkan, mengonsumsi ganja dalam makanan tersebut dapat merugikan orang lain.

“Mirip kasus laki-laki yang dikenal baik dan religius. Laki-laki ini tidak merokok ganja, bahkan tidak merokok. Terjaring penggerebekan narkoba dan positif ganja,” ujarnya.

Orang tersebut, kata Marzuki, sempat beberapa hari berada di kantor BNN. Namun setelah dilakukan pemeriksaan lebih lanjut, kandungan obat di dalam tubuhnya ternyata tidak menyebabkan kecanduan.

Berdasarkan hasil pemeriksaan, yang bersangkutan sebelumnya makan di restoran dengan masakan khas Aachen, namun tidak ingat di mana. Jadi dalam kasus ini yang dirugikan: badan usaha atau konsumen, ujarnya.

Agar program ini berhasil, BNNP Aceh mengaku akan berinteraksi dengan BPOM, Majelis Permusyawaratan Ulam (MPU) Aceh, dan Kementerian Agama Aceh. “Bukan hanya sampah dari dapur orang lain”

Namun upaya BNNP Aceh sempat membuat sejumlah pelaku kuliner khawatir.

Iswadi, salah satu penjual mie Aceh, mengaku khawatir langkah tersebut justru akan merugikan citra kuliner Aceh dan menurunkan penjualan.

Hingga saat ini, usaha kulinernya masih belum pulih akibat dampak pandemi Covid-19. Meraih omzet kotor Rp 1 juta kini menjadi hari keberuntungan bagi Iswadi.

“Lebih baik mengeluarkan sertifikat halal daripada menggunakan [bukti] yang tidak diinginkan masyarakat Aceh,” ujarnya.

Begitu pula penjualan sambal beulangong Tarmizi yang anjlok sejak Covid-19.

Menurutnya, dengan munculnya stigma dan pengujian makanan Achen yang diduga mengandung ganja, “tamu tidak berani makan.”

Sementara itu, penjual mie Aceh Ratna berharap proses pemeriksaan memiliki aturan dan mekanisme yang jelas.

“Bukan hanya sekedar mengobrak-abrik dapur masyarakat untuk mengeceknya, tentu ada aturan yang harus dipatuhi. “Jangan datang tiba-tiba untuk mengecek dapur kecuali ada tanda dan data yang kuat,” kata Ratna.

Pengamat budaya Cek Midi pun melihat uji coba ini bisa berdampak negatif terhadap kehidupan sosial masyarakat Aceh.

“Jika stigma ini tidak diketahui dan segera dikeluarkan pernyataannya, maka akan merugikan masyarakat yang menjual makanan itu sendiri,” ujarnya.

Apalagi stigma tersebut tidak bisa dibuktikan. Ini jelas merugikan syariat Islam di Aceh, merugikan karakter masyarakat Aceh yang selama ini selalu beragama, dan merugikan para pedagang itu sendiri, kata Chek Midi.

Selain itu, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh Almuniza Kamal menilai stigma penggunaan ganja pada masakan Aceh merupakan kesalahpahaman yang perlu diperbaiki.

“Belum ada pernyataan resmi dari politisi seperti BPOM dan MPU mengenai masalah tersebut,” kata Kamal.

Kamal menegaskan, masakan Achen terkenal dengan bumbunya yang unik dan tidak ada kaitannya dengan penggunaan ganja dalam resep tradisional.

Untuk itu, Pemerintah Aceh melalui Disbudpar terus berupaya mempromosikan keunikan dan kekayaan kuliner Aceh melalui berbagai festival dan acara budaya.

Ketua Audit Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Permusyawaratan Ulama (LPPOM MPU), Danny Kandra, pun mengaku belum pernah mendengar stigma makanan Aceh masih mengandung ganja.

“Jangan sampai ada stigma negatif bahwa semua makanan di Aceh mengandung [ganja], makanya harus ada prinsip kehati-hatian. Jangan menuduh atau memfitnah. Pemeriksaannya harus teliti,” ujarnya. “Kebalikannya. logika”

Dhira Narayana, Presiden Yayasan Sativa Nusantara, sebuah organisasi yang memiliki visi menghidupkan kembali budaya ganja di nusantara, meyakini upaya BNNP Aceh hanya akan berdampak sementara.

“Konsekuensinya paling banyak bersifat sementara, karena tradisi sulit dihilangkan dan tidak akan pernah hilang,” ujarnya.

Daripada melakukan sidak, kata dia, lebih baik pemerintah bersama masyarakat menilai seberapa besar pengaruh ganja terhadap seni kuliner masyarakat Aceh.

“Mungkin makanan ini menjadikan masyarakat Aceh kuat, seperti bangsa yang cerdas, dengan kebugaran fisik yang kuat. Ini yang menurut saya menjadi kajian menarik,” ujarnya.

“Pandangan kami, jangan menciptakan makna, tapi mencari makna. Kita harus menemukan makna ganja melalui tradisi-tradisi ini. Harus ada logika dalam hal ini,” ujarnya.

Sejarawan kuliner Fadli menilai seluruh pemangku kepentingan harus bersatu mencari jalan tengah dalam pengobatan ganja.

“Di satu sisi bermanfaat, di sisi lain mengurangi damage, sehingga tidak dibiarkan menjadi hantu yang mengerikan dan selalu diidentikkan dengan NAPZA.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *