TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kebijakan Bank Indonesia yang menaikkan suku bunga acuan menjadi 6,25 persen pada Rabu (24/4) mendapat respons dari industri perbankan.
Banyak bank besar memilih untuk membatasi pertumbuhan kredit untuk membatasi kenaikan biaya pembiayaan dan mempertahankan tingkat margin sekaligus menjaga kualitas pinjaman.
Kenaikan suku bunga acuan akan mendorong deposan besar meminta bunga tabungan lebih tinggi. Di sisi lain, bank-bank yang kekurangan uang atau sedang berkembang, seperti bank digital, bersaing untuk menggalang dana pihak ketiga (DPK) dengan menawarkan imbal hasil yang jauh lebih tinggi. Pencarian likuiditas ini menyebabkan tingkat bunga tabungan yang lebih tinggi.
Pada saat yang sama, bank tidak segera mengkompensasi kenaikan biaya pendanaan dengan langsung meningkatkan bunga pinjaman. Bank juga memperhitungkan potensi peningkatan kredit bermasalah jika kenaikan suku bunga kredit membebani nasabah yang saat ini menghadapi tekanan daya beli akibat inflasi.
“Saat ini faktor eksternal lebih mempengaruhi kebijakan perbankan. Kita baik-baik saja, tiba-tiba terjadi perang, harga komoditas naik, dan inflasi meningkat. Bisnis kita sibuk tumbuh, dan tiba-tiba suku bunga acuan naik karena nilai tukar terus melemah , karena ketidakpastian kebijakan.” “Oleh karena itu, situasi makro kita sangat menantang dan perbankan harus mampu beradaptasi,” kata General Manager PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN) dalam paparan kinerja Q1 2024, Kamis (25/4). Dengan perubahan.
Nixon menegaskan, akibat perubahan makro, BTN memilih menurunkan target pertumbuhan kredit tahun ini dari sebelumnya 14 persen menjadi kisaran 10 hingga 11 persen, sama seperti pencapaian pertumbuhan kredit tahun lalu.
“Ibarat pabrik: kalau harga bahan baku naik (cost of money), kenapa kita harus meningkatkan produksi (penyaluran kredit)? Kalau bahan baku tetap dibeli dengan harga lebih tinggi, tapi produksi tidak bisa segera ditingkatkan.” Dia mengatakan: “Harga jual produk (bunga kredit), mengingat kemampuan nasabah, akan memberikan tekanan pada margin keuntungan.”
Nixon menegaskan, BTN memutuskan mengubah target pertumbuhan kreditnya bukan karena masalah likuiditas. Dalam isu utama ini, kondisi sangat terkendali dengan aman, dengan cadangan sekunder mencapai lebih dari Rp 40 triliun dan rasio DPK terhadap kredit (rasio pinjaman terhadap simpanan) di bawah 100%.
“Bagi para bankir, likuiditas adalah yang utama. Tidak ada kewajiban dalam hal ini. Jadi, sekali lagi, kita tidak boleh salah: kebijakan perubahan target kredit bukan karena masalah terkait likuiditas. ” dia berkata. “.
PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) pun merespons perubahan situasi makro dengan menurunkan target pertumbuhan kredit menjadi 10-11%, dari sebelumnya berkisar 11-12%. Bagi bank terbesar di Tanah Air, meninjau kembali target pertumbuhan merupakan pilihan paling rasional ketika biaya dana tinggi dan potensi risiko kredit akibat inflasi meningkat.
“Sampai Juni 2024, BRI akan menyalurkan kredit secara moderat. Target kredit BRI tiga bulan ke depan juga akan disesuaikan,” kata Sunarso, Direktur Utama BRI, saat pemaparan hasil kuartal I 2024 di Jakarta.
Potensi peningkatan NPL di BRI mulai terlihat dengan rasio NPL mencapai 3,11% pada Maret 2024, naik dari sebelumnya sebesar 2,8%.
Sunarso menjelaskan, kondisi perekonomian diliputi ketidakpastian global. Faktor geopolitik mempengaruhi harga minyak, energi dan pangan. Hal ini berdampak pada perekonomian nasional yang terlihat dari inflasi dan lemahnya daya beli.
“Risiko yang paling mendesak adalah perebutan likuiditas. Hal ini tentunya akan meningkatkan cost of fund dan pada akhirnya dapat berdampak pada kualitas kredit,” kata Sunarso.