Berurai Air Mata, Pemohon Terima Kasih Atas Dissenting Opinion Hakim MK Guntur Hamzah 

Laporan dari reporter Tribunnews.com Rahmat W Nugraha

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pemohon Angelia Susanto dalam perkara yang diuji berdasarkan Pasal 330 ayat (1) KUHP di Mahkamah Konstitusi. Mereka diminta mendengarkan dissenting opinion Hakim Konstitusi Guntur Hamzah.

Diketahui, Perkara 140/PUU-XXI/2023 ditolak mentah mentah oleh Mahkamah Konstitusi.

Namun, Hakim Konstitusi Guntur Hamzah berpendapat berbeda.

Bahkan di sidang MK, Kamis (26/9/2024), Hakim MK Guntur Hamzah menangis saat membicarakan pertimbangannya.

Sementara itu, saat ditemui usai sidang, calon Angelia Susanto mengaku bersyukur atas dissenting opinion Hakim Konstitusi Guntur Hamzah.

“Dia istimewa. Pendekatannya manusiawi. Malah mau nangis,” kata Angel kepada Tribunnews.com di Gedung MK

Suara Angela kemudian bergetar, air mata mengalir di matanya.

“Saya merasa sedih sekali saat melihatnya. Mungkin dia teringat pada ibunya. Bagaimana ibu memisahkan anaknya Ibu berpisah dari anaknya Lagipula, anak tersebut masih di bawah umur.

Padahal keputusan lamarannya ditolak. Namun dia menegaskan tetap berterima kasih atas pertimbangan Hakim Guntur.

“Terima kasih banyak Pak Guntur. Dari saya dan ibu Semua orang tua yang terpisah dari anak-anaknya. Bersyukur sekali suara kami terwakili, ”ujarnya.

Pendengaran penitipan anak

Hakim Konstitusi Guntur Hamzah menangis saat membacakan perbedaan pendapat (dissenting opinion) perkara hak asuh anak di ruang sidang gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (26/9/2024).

Putusan dalam perkara 140/PUU-XXI/2023 semuanya ditolak hakim konstitusi.

“Saya sungguh sedih ketika membaca petisi para pemohon. dan mendengarkan kesaksian ibu-ibu yang dipisahkan secara paksa dari anak-anaknya yang masih di bawah umur,” kata Guntur sambil membaca komentar memihak tersebut.

Karena perebutan hak mengasuh anak tersebut mengakibatkan terjadinya pengangkatan paksa terhadap anak dan ibu kandungnya, ujarnya.

Guntur juga menyayangkan pengadilan tidak mengambil tindakan hukum seperti biasanya.

Namun, dalam banyak kasus, pengadilan tampaknya telah mengambil tindakan dan mengambil sikap.

“Bahkan dalam banyak hal terkesan progresif. Dengan menunjukkan sikap konstruktif,” ujarnya.

Namun saya berharap pengadilan dalam putusan awal mau menyampaikan semangat ketidakberpihakan kepada ibu kandung dalam mengasuh anak di bawah umur, tambahnya.

Sekadar informasi, Mahkamah Konstitusi menolak menguji seluruh isi Pasal 330 ayat (1) KUHP UUD 1945.

Lamaran ini diajukan oleh Aelyn Halim, Shelvia, Nur, Angelia Susanto dan Roshan Kaish Sadaranggani.

Semua pemohon mempunyai satu kesamaan: setelah perceraian mereka mempunyai hak untuk mengasuh anak-anak mereka. Namun kini mereka tidak mempunyai hak tersebut karena mantan suaminya menggunakan kekerasan untuk mengontrol anak-anaknya.

Oleh karena itu, menurut pemohon, tidak terdapat penafsiran yang jelas dan tegas terhadap ketentuan frasa “siapa pun” dalam Pasal 330 ayat (1) KUHP yang berbunyi: “Setiap orang yang dengan sengaja mengeluarkan anak di bawah umur” dalam kekuasaan yang ditentukan oleh hukum atas dirinya. atau di bawah pengawasan orang yang mempunyai kewenangan untuk itu. Ancaman pidananya paling lama tujuh tahun penjara,” terlepas dari apakah hal itu berlaku bagi ayah atau ibu kandung yang sah sebagaimana disebutkan di atas. Dalam praktiknya, hal ini menimbulkan kesewenang-wenangan hukum yang mengakibatkan perlakuan berbeda.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *