TRIBUNNEWS.COM – Inspirasi tak terduga ternyata bisa menginspirasi seseorang untuk menciptakan bisnis baru yang sukses. Begitulah pengalaman Adang, salah satu pelaku Usaha Kecil, Kecil, dan Menengah (UMKM) di Bandung yang berhasil mengolah bambu menjadi beragam produk kerajinan dan makanan olahan hingga terkenal hingga mendunia.
Diakui Adang, inspirasi itu datang pada suatu malam tanggal 30 April 2011, saat ia sedang duduk di masjid. Dia melihat sebatang pohon bambu di halaman kuil. Keesokan harinya, saat menonton orkestra bermain di TV, sebuah biola menarik perhatiannya. Yang lainnya adalah jawaban atas pertanyaan kemarin.
“Iya, saya akan membuat biola bambu,” meski pemilik nama lengkap Adang Muhidin itu tidak mahir memainkan alat musik tersebut.
Inspirasi yang tiba-tiba ini membawanya pada sebuah bisnis baru, perdagangan teknologi bambu, yang ia keluarkan dari masa-masa sulit yang menghambat bisnis sebelumnya. Hal ini menjadi momen penting dalam kehidupan Adang dan keluarganya.
Dengan berbekal uang sendiri, Adang mulai mempelajari bambu, melakukan penelitian dan eksperimen sebanyak-banyaknya. “Suatu hari saya pergi ke Bandung untuk belajar tentang bambu,” kata Adang di rumahnya di Desa Simareme, Ngampra, Kawasan Bandung Barat.
Sekitar tahun 2013, Adang berhasil membuat biola bambu pertama, disusul alat musik lainnya seperti gitar dan bass. Awalnya bambu, kata Adang, merupakan hasil mengemis dari ladang ke ladang. Ketekunan dan hasil jerih payahnya mulai terlihat hingga ia dan timnya diundang konser di Jakarta. Awalnya Adang merasa rendah diri. “Tapi ternyata kamar kami penuh pengunjung,” kata Adang setengah tiba-tiba.
Di sana, biola bambu pertama dibeli oleh orang Jepang seharga 3,5 juta rupiah. Gitar bambu tersebut ternyata dijual dengan harga 4 juta rupiah. Adang pulang ke rumah dengan membawa uang sebesar 7,5 juta rupiah dari Jakarta, yang kemudian digunakan untuk menambah modal usahanya. Virage Awie yang awalnya dirintis Adang secara individu dan mitra, kini bisa menjadi platform bisnis berkelanjutan bagi ratusan orang lainnya.
“Jumlah yang bekerja sudah mencapai 200 orang, namun tidak semuanya tinggal serumah, kini pemilik Virage Awie ada 4 orang dengan kelompok inti 7 orang, kelompok lain 47 orang, belum lagi perempuan swasta. kelompok usaha makanan, mencapai 30 “Kebanyakan orang adalah orang tua tunggal. Penyandang disabilitas juga sudah dilatih sebanyak 35 orang, dan kini ada 8 orang yang bekerja di sini,” kata Adang.
Soal pemasaran produk, Adang mengatakan, produk bambu Virage Awie tidak hanya diminati dalam negeri tapi juga dari luar negeri. Bahkan untuk alat musik, kata dia, pembelinya 90 persen berasal dari luar negeri, beberapa di antaranya Jepang, India, Rumania, Jerman, Inggris, Singapura, dan Malaysia.
“Kami sering diundang BRI ke pameran di luar negeri, terakhir di Singapura. Kami bertemu Bayers di pameran itu,” katanya.
Bisa dikatakan salah satu produk andalan Virage Awie ini merupakan alat musik yang sesungguhnya. Saat ini harga alat musik semakin meningkat seiring dengan peningkatan kualitas. Harga gitar misalnya mulai dari Rp 14 jutaan hingga Rp 25 jutaan. Sedangkan drum bambu harganya bisa mencapai Rp 50 juta.
“Kami memproduksi secara eksklusif, kami hanya menjual 36 gitar per tahun dalam jumlah terbatas. 90 persen pembelinya berasal dari luar negeri. Produk kuliner ini terbilang terbaru, akan mulai benar-benar masuk pasar pada tahun 2022-2023. Untuk produk bambu lainnya seperti jam tangan, peminatnya paling banyak dari dalam negeri, kata Adang.
Adang berharap usahanya dapat berkembang seperti deretan bambu di taman yang memberikan kesejukan, keteduhan, dan manfaat bagi banyak orang. “Jangan lupa membantu orang lain. Harapannya di Virage Awie kita bisa membantu sesama tanpa harus besar,” imbuhnya.
Terus berkembang bersama Pemberdayaan BRI
Diakui Adang, perjalanan bisnisnya semakin terpacu berkat dukungan BRI. Virage Awi, nama dagang kerajinan bambu Adang, diketahui merupakan salah satu kelompok usaha binaan BRI. “Tahun itu saya kenal BRI dan akhirnya alat musik kami mendapat HAKI (Hak Kekayaan Intelektual),” ujarnya.
Selain itu, ia juga mengajukan pembiayaan usaha melalui Kredit Usaha (KUR) di awal karir rintisannya. Selain itu, Virage Awi membantu penyediaan peralatan produksi. Diakuinya, dengan adanya alat produksi tersebut, ia bisa membantu para perajin yang dilatihnya untuk menghasilkan lebih banyak produk dari olahan bambu.
Kerajinan bambu Virage Awi terus berkembang, tidak hanya menghasilkan alat musik saja, namun juga merambah ke kerajinan lainnya seperti jam bambu, ukiran bambu, wadah minum bambu, speaker bambu, bahan bangunan bahkan barang-barang hiasan. Virage Awi yang selama ini tidak hanya fokus di bidang manufaktur, kini menjadi akademi yang fokus pada pemberdayaan masyarakat dalam bentuk pelatihan bisnis khususnya bagi penyandang disabilitas.
Beberapa kelompok usaha tersebut antara lain Kelompok Wanita Kreatif Tanginas yang membuat olahan kuliner dari daun bambu atau daun bambu, seperti olahan mustofa bambu, simping tembak bambu, semprong, siomay, dan brownies bambu. Ada pula kelompok perempuan kreatif Motekar yang membuat kue kering dari daun bambu. Selain itu, kelompok kerajinan tangan untuk penyandang disabilitas.
Dalam kesempatan terpisah, Direktur Bisnis Mikro BRI Supari mengungkapkan Pemberdayaan Kelompok Usaha adalah tentang pemberdayaan kelompok-kelompok usaha yang berbasis pada usaha sejenis dalam bidang yang sama untuk menciptakan kedekatan dan kebersamaan demi pertumbuhan dan perkembangan usaha para anggotanya.
Hingga akhir Juli 2024, BRI tercatat memiliki 31.488 kelompok usaha yang mengikuti program My Life Group. BRI juga menyelenggarakan 2.184 pelatihan dalam program My Life Group.
Supari menambahkan, program klaster merupakan salah satu bentuk strategi yang mengedepankan pemberdayaan. “Secara keseluruhan, Strategi Bisnis Kecil BRI 2024 akan fokus pada pemberdayaan dibandingkan pendanaan. BRI sebagai bank pendukung pelaku UMKM memiliki kerangka pemberdayaan yang dimulai pada tahap awal, integrasi, dan konektivitas,” kata Supari.