TRIBUNNEWS.COM – Penelitian terus dilakukan terhadap bahaya Bisphenol-A atau BPA. Melalui berbagai penelitian, terbukti bahwa paparan bahan kimia tersebut dapat menimbulkan berbagai risiko bagi kesehatan manusia.
Salah satunya dijalankan oleh National Toxicology Program (NTP), sebuah program inisiatif dari Departemen Kesehatan Amerika Serikat. Pada tahun 2021, NTP secara khusus meneliti toksisitas BPA.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan tikus sebagai subjek yang diberi dosis BPA berbeda setiap harinya.
Dosis BPA yang digunakan pada penelitian ini adalah 2,5, 25, 250, 2.500, dan 25.000 ug/kg BB/hari. Hasilnya, dosis 2,5 µg/kg BB/hari menyebabkan infiltrasi sel limfosit pada prostat tikus, sedangkan dosis 25 µg/kg BB/hari menyebabkan peradangan pada prostat.
Paparan BPA juga berdampak pada kelenjar susu (kelenjar kulit yang berfungsi memproduksi susu) pada tikus dengan dosis 25-250 ug/kg BB/hari sehingga menyebabkan gangguan endokrin.
Di ovarium, dosis 25.000 ug/kg BB/hari menyebabkan peningkatan kista folikular, sejenis tumor jinak. Temuan penelitian NTP di atas menunjukkan satu hal, bahwa paparan BPA menimbulkan risiko pada bagian tubuh tikus yang berkaitan erat dengan sistem reproduksi dan kesuburan.
Tak hanya NTP, berbagai penelitian langsung pada manusia menunjukkan hal serupa.
Salah satunya adalah penelitian dari Ewha Womans University Mokdong Hospital, Korea pada tahun 2014 yang dilakukan terhadap 307 wanita berusia 30-49 tahun.
Paparan BPA diketahui mempengaruhi kesuburan dan menyebabkan DOR (berkurangnya cadangan ovarium). Kadar BPA urin yang lebih tinggi ditemukan pada responden dengan DOR.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa wanita dengan paparan BPA yang tinggi memiliki kemungkinan 4,25 kali lebih besar untuk mengalami infertilitas.
Selain itu, studi kohort selama empat tahun di Tiongkok dengan 218 responden pria menemukan bahwa peningkatan kadar BPA dalam urin dapat menurunkan konsentrasi sperma, jumlah sperma, vitalitas sperma, dan motilitas sperma.
Sementara itu, pria yang terpapar BPA tiga kali lebih mungkin mengalami penurunan konsentrasi dan vitalitas sperma, serta empat kali lebih besar kemungkinannya mengalami penurunan jumlah sperma.
Pentingnya memantau produk yang mengandung BPA
Tak hanya berdampak pada kesuburan, kata pakar farmakologi dari Fakultas Farmasi Universitas Airlangga, Prof. Junaidi Khotib, S.Si., Apt., M.Kes., Ph.D., menjelaskan bahwa BPA dapat mengganggu senyawa endokrin. , yang bisa menjadi pemicu awal berbagai masalah penyakit pada tubuh.
“Jika fungsi senyawa endokrin terganggu oleh BPA, maka keadaan fisiologis ini akan berpindah ke keadaan patofisiologis. “Beberapa referensi menunjukkan adanya dampak langsung dari gangguan endokrin seperti diabetes, hipertensi, gangguan kesuburan, kanker, dan penyakit mental,” jelas Prof. Junaidi saat diwawancarai Tribunnews, Sabtu (22/6/2024).
Junaidi menjelaskan, hal ini bisa berbahaya karena BPA sering digunakan dalam kemasan air minum dan dapat berpindah serta mencemari isinya.
Ia mengatakan, kemasan yang mengandung BPA dapat menjadi penyebab utama berbagai penyakit, yang diperburuk oleh berbagai kondisi, seperti tingkat keasaman cairan, suhu penyimpanan, dan paparan terhadap bahan-bahan ternama.
“Dari data tiga pemeriksaan fasilitas manufaktur dengan metode yang sesuai pada tahun 2021-2022 disimpulkan bahwa jumlah BPA yang bermigrasi dari kemasan polikarbonat dapat meningkat seiring dengan siklus penggunaan kembali galon,” ujarnya.
Mengingat besarnya risiko BPA terhadap kesuburan dan sistem reproduksi, maka masyarakat sebagai konsumen berhak mendapatkan perlindungan dalam bentuk peraturan yang tepat.
Peraturan ini diterapkan untuk mengatur produsen dan konsumen produk yang mengandung BPA, termasuk produsen air minum dalam kemasan (AMDK).
Hal inilah yang menjadi salah satu alasan Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA) mengadopsi Peraturan BPOM Nomor 6 Tahun 2024.
Peraturan terbaru ini mewajibkan pemberian label BPA pada air minum dalam kemasan, dengan label peringatan yang berbunyi, “dalam kondisi tertentu, kemasan polikarbonat dapat melepaskan BPA ke dalam air minum dalam kemasan.”
Dengan adanya peraturan ini diharapkan konsumen manusia akan lebih sadar akan risiko dan risiko kesehatan dari penggunaan kemasan plastik polikarbonat yang mengandung BPA dan dapat lebih cerdas dalam memilih produk yang aman dan bebas BPA.
Di sisi lain, peraturan ini juga mendorong produsen untuk meningkatkan daya saing dengan berkomitmen menghasilkan produk yang aman bagi kesehatan dan tidak berbahaya bagi konsumen.
Ini adalah langkah yang harus diambil semua pihak. Dengan bersama-sama melindungi konsumen dari bahaya BPA, seluruh pihak yang terlibat juga akan membantu melindungi masa depan generasi penerus bangsa. (***M.Fitrah***)