Benarkah Anak Pejabat Mudah Melenggang Bebas dari Jerat Hukum?

Putusan bebas yang diterima RT, terdakwa kasus penganiayaan DS di Surabaya, pada pertengahan Juli 2024 lalu menimbulkan kemarahan publik. Seperti dilansir detikcom, jaksa awalnya meminta RT 12 tahun penjara karena terbukti melanggar Pasal 338 KUHP.

Namun yang terjadi, hakim Pengadilan Negeri Surabaya membebaskan RT dari segala dakwaan dan menyatakan korban DS meninggal karena konsumsi alkohol, bukan kekerasan seperti yang dituduhkan. Sementara dari hasil visum, penyebab penyerangan DS adalah luka dalam. Namun bukti-bukti tersebut dinilai belum cukup kuat untuk menangkap RT yang merupakan putra eks Komisi IV DPR RI tersebut.

Keputusan ini pun membuat marah masyarakat. Pasalnya, kasus ini dinilai menambah deretan panjang kasus impunitas terhadap pemimpin dan keluarganya.

Sebelumnya, di penghujung tahun 2023, pemberitaan diisi dengan keputusan hakim yang memvonis Mario Dandy Satriyo, putra pejabat pajak Rafael Alun Trisambodo, atas kasus kekerasan yang menyebabkan korban David cacat tetap. Cium baunya. Vonis 12 tahun penjara yang dijatuhkan hakim dinilai sebagai “pengawasan ketat” oleh masyarakat terhadap kasus tersebut.

Selain itu, 20 tahun lalu, Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto divonis 15 tahun penjara karena membunuh Hakim Agung Syaifuddin Kartasasmita dan kepemilikan senjata api ilegal. Baru sekitar 6 tahun dipenjara, Tommy dibebaskan.

Silakan, daftar untuk buletin mingguan gratis Wednesday Bite. Segarkan kembali pengetahuanmu selama seminggu, agar topik pembahasan semakin menarik! Anda suka mencintai diri sendiri

Menurut sosiolog Sunyoto Usman, standar hidup yang tinggi seringkali dikaitkan dengan kemampuan melakukan apapun yang diinginkan karena adanya daya tawar.

“Dalam kasus kekerasan keluarga dan saudara kandung, pelaku merasa dominan dan mempunyai banyak kekuasaan terhadap korban, sehingga merasa bisa berbuat sesukanya,” kata Sunyoto.

“Ada yang namanya klientelisme, yaitu orang yang menyelamatkan seseorang yang punya jabatan politik. Kalau ada pendukung (aktor politik yang memberi) bermasalah, maka klien (pihak penerima) juga bisa bermasalah. Jadi ada adalah sesuatu yang harus dilindungi di sini,” kata Sunyoto kepada DW Indonesia.

Guru Besar Sosiologi UGM ini meyakini kekhawatiran kekerasan yang terjadi pada keluarga penguasa tidak hanya sebatas kesombongan verbal dan fisik. Menurutnya, hubungan kekuasaan dan penegakan hukum di Indonesia bisa berujung pada sesuatu yang sangat mematikan, yakni “mempermainkan” konstitusi.

Sunyoto menegaskan: “yang tidak baik adalah jika relasi kekuasaan tersebut menjadi umum dan berakhir pada aturan-aturan yang digunakan dalam ranah politik, untuk mengubah politik.” “Itu bisa menjadi sumber korupsi dan kolusi,” imbuhnya. Peran hakim adalah kompetensi absolut

Berdasarkan Konstitusi, setiap orang mempunyai hak untuk diperlakukan sama di hadapan hukum. Laporan ini tidak melihat latar belakang akademis atau hubungan dengan manajer atau pemimpin.

Untuk itu, Abdul Fickar Hadjar, pakar hukum pidana Universitas Trisakti, mengatakan kasus kekerasan terhadap anak tentara tidak boleh berujung pada impunitas karena tertangkap.

Abdul Fickar menjelaskan, kekuasaan mengadili perkara atau kekuasaan hakim yang tidak dapat ditarik kembali harus dilakukan dengan segala tanggung jawab.

“Kekuasaan besar ada di tangan hakim. Rasa keadilan masyarakat saja tidak bisa menjadi kekuatan kontrol, sehingga penggunaannya terkadang tidak teratur dan tidak mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat,” ujarnya kepada DW. . Indonesia. .

Ia menambahkan: “Dengan kekuasaan yang tinggi dan kebebasan mutlak, hakim terkadang menggunakannya tanpa koridor yang jelas. Sekalipun undang-undang dengan jelas mengaturnya.”

Abdul Fickar berpendapat bahwa hakim yang bekerja di pengadilan negeri, khususnya di kota-kota besar, adalah mereka yang memiliki pengalaman minimal 20 tahun di bidang profesi peradilan. Dengan ini, kemampuan menjadi lebih penting. Namun, kata dia, berbicara jujur ​​harus selalu dipertanyakan. Bagaimana kinerja hakim dipantau?

Meski mempunyai kekuasaan absolut, bukan berarti fungsi peradilan tidak ada kendalinya. Penilaian dan pengawasannya berada pada Mahkamah Agung sebagai kewenangan utama pemerintahan dan peradilan, dengan dasar bahwa penilaian terhadap kerja tersebut tidak boleh melanggar prinsip independensi dan independensi hakim.

Dia menambahkan, hakim yang dinyatakan bersalah melanggar perintah pengadilan dapat menghadapi tuntutan denda, administratif, dan pidana.

Namun, dalam beberapa tahun terakhir, peran masyarakat tampaknya lebih besar dalam melakukan pengawasan. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya kasus yang hanya diusut padahal banyak dibicarakan, hingga akhirnya kata tersebut bukan virus, atau keadilan yang kasat mata.

“Peran masyarakat dalam mengendalikan hal ini tidak bisa diabaikan, baik media, masyarakat umum, maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM). Hal ini disebut juga dengan sine qua non, suatu hal yang mutlak harus ada dalam setiap proses,” . terutama dalam hal-hal yang berkaitan dengan kekuasaan, kekuasaan politik, dan kekuasaan finansial,” jelas Abdul Fickar.

Fr/ae

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *