BEM Universitas Nahdlatul Ulama Tanggapi Kebijakan Kemenag Soal Azan saat Misa Suci Paus Fransiskus

Wartawan Tribunnews.com, Fahdi Fahlevi melaporkan

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – BEM Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia mendukung seruan Kementerian Agama terkait lantunan azan Maghrib saat transmisi Misa Kudus bersama Paus Fransiskus.

Ketua Mahasiswa Unage 2024/2025 Mega mengucapkan terima kasih atas seruan Kementerian Agama untuk menjaga kerukunan dan toleransi.

Jelas ponsel ini menjadi salah satu solusi praktis untuk bertahan di Indonesia, kata Mega dalam keterangannya, Jumat (6/9/2024).

“Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi keberagaman, perubahan penyiaran ini bukanlah suatu kejahatan, dan azan Maghrib di masjid terus dilakukan,” imbuhnya.

Seruan ini, kata Mega, bertujuan untuk menjaga kerukunan dan kerukunan antar umat beragama, khususnya di Indonesia yang memiliki keberagaman agama.

Menyiarkan azan Maghrib dengan menyiarkan teks, kata Mega, diharapkan umat Islam tetap menjalankan ibadahnya tanpa mengganggu kemajuan agama Katolik.

“Langkah ini menunjukkan semangat toleransi dan saling menghormati antar umat beragama di Indonesia,” tutupnya.

Penjelasan Departemen Agama

Menteri Agama (Kemenag) buka suara terkait kontroversi surat kepada Menteri Komunikasi dan Informatika (Cominfo) yang menghapus azan Maghrib di televisi dan menggantinya dengan teks yang ada saat ini.

Jadi pada dasarnya pengumuman era Maghreb di televisi dilakukan dengan teks yang kekinian. Sementara azan di masjid dan musala tetap diperkenankan,” jelas Juru Bicara Kementerian Agama Sunanto seperti dikutip dari laman resmi Kementerian Agama.

Sunanto menegaskan, surat tersebut hanya merujuk pada tayangan salat Maghrib di TV yang biasanya hanya tayang saat matahari terbenam di Jakarta (WIB). “Azan Mabrib di wilayah Indonesia bagian timur boleh dikumandangkan karena saat ini sedang masa sulit,” imbuhnya.

Sunanto yakin masyarakat Indonesia bisa memahami upaya Kementerian Agama yang menggantikan azan Maghrib dengan SMS dari televisi. Menurutnya, hal ini karena masyarakat Indonesia dikenal religius dan toleran.

“Semua orang bisa mengamalkan agamanya. Ibadah keagamaan terus berlanjut. Pada saat Maghrib, pemberitahuan serah terima disampaikan melalui teks yang tersedia dan azan tetap dikumandangkan di masjid dan musala. Umat ​​Katolik beribadah secara massal, umat Islam tetap melaksanakan salat Maghrib. “Ini merupakan gambaran toleransi dan kerukunan masyarakat Indonesia yang sangat digemari dunia,” tegasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *