Wartawan Tribunnews.com, kata Ismoyo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Perusahaan pertambangan di Indonesia, khususnya batu bara, masih mendapat pembiayaan dari perbankan.
Faktanya, Indonesia saat ini sedang memfasilitasi transisi energi. Misalnya saja penggunaan energi fosil, penggunaan energi baru terbarukan.
Seperti yang Anda lihat, perbankan tidak mendukung misi mencapai emisi nol bersih.
Head of Compliance PT Bank Rakyat (Persero) Tbk atau BRI Ahmad Suleihen Lutfiantu menjelaskan, pembiayaan yang diberikan perbankan kepada perusahaan batubara dinilai masih penting.
Hal ini konsisten dengan menjaga ketahanan energi nasional.
Seperti diketahui, pembangkit listrik di Indonesia masih ditopang oleh pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batubara.
Jika bisnis pertambangan batu bara tidak didukung maka berdampak pada sektor lain, dalam hal ini ketahanan energi.
“Kenapa perbankan masih membiayai batu bara? Kalau bank tidak mau membiayai batu bara, siapkah kita hidup di Jakarta seperti tahun lalu?” Hal itu disampaikan Suleihen pada Kamis (12/9/2024) dalam diskusi kekuatan BUMN terkait emas Indonesia di Serina, Jakarta.
Lanjutnya, “Kalau teman-teman sudah siap, ya nggak apa-apa. Tapi kita nggak pernah mati listrik lalu mati lampu. Aku juga nggak ngerti.”
Perbankan dalam negeri terutama berupaya membiayai proyek-proyek yang memiliki prinsip tata kelola sosial lingkungan (ESG), lanjut Suleihen.
Namun, pihaknya melihat kondisi di dalam negeri masih membutuhkan energi berbasis batu bara, seperti yang dioperasikan oleh pembangkit listrik milik PT Perusahaan Perusahaan Perusahaan PerusahaanEL Negara (Persero).
“Kekuatan itu masih kita pakai. Kalau misalnya kita bicara BRI yang ingin kebijakan (pengaturan mekanisme pembiayaan) di Bank Hembra, maka kita lihat dulu ke mana arah PLN. Kapan PLN berhenti. Kalau itu. membiayai pembangkit listrik tenaga batu bara, kami akan menatanya di sini,” tutupnya, bukti komitmen ESG BRI
BRI menyelesaikan tinjauan tahunan bekerja sama dengan Morningstar Sustainalytics, kata Solichin.
Hasilnya, BRI secara konsisten berhasil menurunkan peringkat risiko ESG selama 2 tahun terakhir, dari risiko tinggi pada tahun 2020, dengan penilaian terakhir sebesar 17,8 poin, menjadi perkiraan risiko rendah selama 2 tahun terakhir.
Dalam setiap penilaian, setelah dilakukan analisis menyeluruh, Sustainalytics memberikan skor risiko ESG kepada perusahaan yang dinilai dan mengelompokkannya ke dalam beberapa kategori, seperti risiko yang tidak dapat diterima (0-10 poin), risiko rendah (10-20 poin), risiko sedang (20- 30 skor), risiko tinggi (skor 30-40) dan risiko berat (skor di atas 40).
Dengan demikian, semakin rendah tingkat risiko ESG, maka semakin besar pula risiko dampak keuangan material suatu perusahaan yang disebabkan oleh faktor-faktor ESG.
Peringkat risiko rendah yang diberikan oleh Sustainalytics merupakan pengakuan lembaga pemeringkat internasional atas komitmen BRI terhadap keberlanjutan perusahaan.
Sebagai bank yang fokus pada pemberdayaan UKM, BRI memiliki database jutaan nasabah, baik simpanan maupun pinjaman. Hal ini menempatkan BRI pada risiko pelanggaran data dan sistem keamanan siber.
Dalam penilaiannya, Sustainalytics menilai BRI memiliki manajemen yang kuat dalam mengelola permasalahan keamanan siber, sehingga berkontribusi terhadap proyeksi peningkatan peringkat risiko ESG BRI.
Selain fokus pada evaluasi tata kelola BRI, Sustainalytics juga mendukung upaya BRI dalam meningkatkan inklusi keuangan.
Pada tahun 2023, BRI telah menambah 65 persen inklusi keuangan di Indonesia. Hal ini sejalan dengan tujuan korporasi BRI untuk menjadi “grup perbankan paling bernilai di Asia Tenggara dan pelopor inklusi keuangan”.