TRIBUNNEWS.COM – Pada Jumat (29/11/2024), Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) mengutuk keras surat perintah penangkapan yang diajukan Israel terhadap Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yves Gallant. Banding ditolak. .
Dalam keterangan resminya, jaksa ICC Karim Khan mengklarifikasi bahwa proses banding tidak dapat dilanjutkan.
“Israel tidak dapat mengajukan gugatan hukum di depan pengadilan sebelum mereka mengambil keputusan sesuai Pasal 58 Statuta Roma,” kata Khan, dikutip VOA.
Israel mengajukan banding pada Rabu (27/11/2024) terkait keputusan Praperadilan Kamar I.
Meski demikian, Khan menegaskan keputusan tersebut tidak bisa diajukan banding secara langsung.
“Keputusan ini bukan keputusan yurisdiksi dan oleh karena itu tidak dapat diajukan banding,” tambahnya.
Dengan demikian, Netanyahu dan Gallant masih resmi menyandang status sebagai buronan ICC yang dituduh melakukan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Jalur Gaza.
Meski Netanyahu berstatus buron, ada hambatan hukum yang bisa digunakan untuk menghindari penangkapan di beberapa negara, seperti Inggris.
Sebagai warga negara non-anggota ICC, Netanyahu dapat menikmati manfaat kekebalan atau kekebalan hukum.
Namun yurisprudensi ICC menolak keras imunitas bagi pejabat negara yang masih menjabat.
Di Inggris, konsep kekebalan misi khusus (SMI) memungkinkan pejabat negara seperti Netanyahu menghindari penangkapan.
“SMI adalah jenis kekebalan ad hoc yang diberikan kepada anggota misi sementara yang dikirim suatu negara ke negara lain,” jelas mantan Menteri Luar Negeri Inggris William Hague.
Namun, penggunaan SMI tidak dapat sepenuhnya diandalkan sebagai jaminan keamanan bagi Netanyahu dan Gallant.
Langkah ICC yang mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Netanyahu menuai reaksi beragam.
Banyak negara, termasuk beberapa anggota Uni Eropa (UE), secara terbuka menyatakan keraguannya terhadap penerapan perintah ICC.
“Prancis berpikir Netanyahu mungkin kebal,” kata seorang pengamat hukum.
Hal ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai keseriusan masyarakat internasional dalam menegakkan hukum internasional.
Presiden ICC Tomoko Akan pun tak tinggal diam.
Dalam pidatonya di pertemuan tahunan ICC, Akan mengkritik Amerika Serikat (AS) dan Rusia atas keterlibatannya dalam upaya melemahkan penyelidikan ICC.
“Kami menolak segala upaya untuk mempengaruhi independensi pengadilan ini,” tegasnya, menyoroti ancaman sanksi yang dihadapi ICC.
Akin pun menegaskan, ancaman tersebut bukan sekedar omong kosong belaka.
Mengutip tindakan pemerintahan Donald Trump yang pernah memberikan sanksi kepada jaksa ICC, tindakan tersebut menggarisbawahi keseriusan ancaman tersebut. Tantangan menjelang ICC
Dengan situasi yang semakin kompleks, ICC mendapat tekanan tidak hanya dari luar namun juga dari dalam.
Tuduhan yang dilontarkan terhadap Jaksa Khan mengenai perilakunya selama bekerja semakin menambah beban institusi.
“Kita harus bertanya seberapa serius negara-negara anggota dalam menghormati keputusan ICC, terutama ketika mereka tidak menyukainya,” kata profesor hukum internasional Sergey Vasiliev, AOL melaporkan.
(Tribunnews.com, Andri Valan Nograhani)