TRIBUNNEWS.COM – Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA) telah menyetujui peraturan pelabelan bebas BPA (BPA-free) pada air minum dalam kemasan (AMDK).
Peraturan BPOM Nomor 6 Tahun 2024, khususnya pada pasal 61A mengatur bahwa air minum dalam kemasan yang menggunakan wadah plastik polikarbonat harus mencantumkan peringatan pada labelnya yang berbunyi “dalam kondisi tertentu, wadah polikarbonat dapat melepaskan BPA pada air minum dalam kemasan”.
Padahal, aturan pelabelan BPA ini merupakan bagian dari upaya pemerintah dalam melindungi masyarakat, khususnya konsumen AMDK.
BPA merupakan senyawa kimia yang banyak ditemukan pada berbagai produk konsumen yang digunakan sehari-hari. Selain pada galon AMDK, BPA juga banyak ditemukan pada wadah makanan dan botol bayi.
Apabila BPA masuk ke dalam makanan atau minuman melalui bahan kontak makanan, maka risiko paparan BPA kepada konsumen akan meningkat.
Hal ini patut diwaspadai konsumen, karena adanya risiko berbagai gangguan kesehatan. Salah satu kekhawatiran dalam beberapa tahun terakhir adalah dampaknya terhadap kesuburan dan infertilitas.
Studi menunjukkan bahwa paparan BPA meningkatkan risiko keguguran
Paparan BPA diketahui berhubungan dengan sejumlah masalah reproduksi pada manusia, termasuk penurunan cadangan ovarium (DOR) dan infertilitas pada wanita.
FYI, DOR merupakan kondisi menurunnya jumlah dan kualitas sel telur di indung telur yang dapat menyebabkan kemandulan atau sulit hamil pada wanita.
Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa wanita dengan kadar BPA lebih tinggi mungkin berisiko lebih besar mengalami DOR dan masalah kesuburan lainnya.
Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Mokdong Universitas Wanita Ewha di Korea pada bulan September-November 2014, yang melibatkan 307 wanita usia subur (30-49 tahun). RASA SAKIT, odds 4, menunjukkan kemungkinan 25 kali lebih besar mengalami infertilitas.
Selain itu, polip endometrium juga dilaporkan meningkat pada wanita yang terpapar ftalat. Phthalates ini adalah kelompok senyawa kimia lain yang biasa ditemukan bersama dengan BPA di berbagai produk konsumen.
Oleh karena itu, risiko paparan terhadap pengganggu endokrin (EDC), termasuk BPA, harus menjadi perhatian utama bagi wanita usia subur.
Tidak hanya pada wanita, studi kohort terhadap pria di China menemukan bahwa peningkatan kadar BPA dalam urin menurunkan konsentrasi, jumlah, viabilitas dan motilitas sperma serta menurunkan biosintesis testosteron sehingga meningkatkan risiko penurunan kualitas sperma hingga 4 kali lipat.
Selain itu, penelitian dari China’s Hohai University (2019) menyebutkan bahwa BPA dapat menyebabkan gangguan keseimbangan hormonal dengan cara mengikat reseptor yang berhubungan dengan hormon pada sistem reproduksi pria dan wanita (disebut juga hormon seks atau estrogen).
Penelitian tersebut kemudian menyimpulkan bahwa paparan BPA dalam kadar tinggi (1,53-2,22 μg/L) dapat mempengaruhi feminisasi janin laki-laki, mengubah parameter sperma, dan menurunkan testosteron.
Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Departemen Biokimia dan Biologi Molekuler Fakultas Sains Universitas Buea juga menunjukkan bahwa BPA dapat mengganggu fungsi hormon dan reseptor estrogen dan androgen, menurunkan libido, dan menyebabkan kesulitan dalam ejakulasi.
Dengan adanya risiko paparan BPA yang berpotensi mempengaruhi sistem reproduksi dan reproduksi, maka penting bagi konsumen untuk berhati-hati dalam mengonsumsi produk yang mungkin mengandung BPA.
Ada banyak cara untuk mencegah risiko ini. Misalnya, pilihlah botol atau wadah makanan yang berlabel bebas BPA.
Selain itu, pemilihan galon air kemasan bebas BPA untuk diminum sehari-hari juga menjadi langkah penting untuk melindungi kesehatan reproduksi, terutama bagi perempuan dan laki-laki usia subur yang rentan terhadap dampak paparan BPA. (***M.Fitrah***)