TRIBUNNEWS.COM – Amerika Serikat (AS) tidak mengharapkan adanya perubahan mendasar pada masa presiden baru Iran.
Mantan Menteri Kesehatan Iran Masoud Peshshikiyan memenangkan putaran kedua pemilihan presiden Iran pada Jumat (7/7/2024) dengan perolehan 53,7 persen suara.
Juru bicara Departemen Luar Negeri AS Matthews mengatakan: “Kami memperkirakan pemilu ini akan membawa perubahan mendasar dalam kebijakan dan kebijakan Iran. Pada akhirnya, keputusan terakhir mengenai masa depan politik Iran bukanlah pada presiden. Dia adalah pemimpin tertinggi.” kata Miller kepada wartawan kemarin (8/7/2024).
Ia menegaskan, jika para pemimpin Iran berhasil membangun stabilitas di Timur Tengah dengan tidak mendanai kelompok perlawanan dan membatasi program nuklir mereka, maka situasi Iran akan lebih baik di mata Amerika Serikat.
“Tentu saja jika presiden baru mempunyai kewenangan untuk mengambil langkah-langkah untuk membatasi program nuklir Iran, menghentikan pendanaan kepada kelompok perlawanan, dan mengakhiri kegiatan yang mengganggu stabilitas kawasan, maka itu adalah langkah-langkah yang kami sambut baik,” kata Matthew Miller.
Namun, tentu saja kami tidak punya harapan akan hal itu, lanjutnya, Anadolu Agency melaporkan.
Matthew Miller mengatakan dia berharap Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei akan mengambil sikap melawan Iran, musuh Amerika sejak Revolusi Islam tahun 1979.
Pemilihan presiden Iran berakhir setelah kecelakaan helikopter tragis pada 19 Mei 2024 di provinsi Azerbaijan Timur, yang mengakibatkan presiden Iran saat itu Ibrahim Raisi dan Menteri Luar Negeri Iran Hossein Amir Abdullahiyan kehilangan nyawa.
Di sisi lain, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Iran Nasir Kanani menanggapi ucapan Matthew Miller soal Presiden baru Iran.
Dia melihat respons Amerika terhadap pemilu Iran sebagai campur tangan terhadap urusan dalam negeri negaranya.
Nasir Kanani berkata, “Pernyataan campur tangan Amerika dalam pemilihan presiden kita adalah campur tangan yang jelas dan brutal.”
Dia juga mengatakan kemarin: “Kami melihat ini sebagai tanda semakin mendalamnya kebijakan permusuhan Amerika terhadap Iran.”
Dalam konferensi pers tersebut, Matthew Miller juga ditanya apakah Amerika Serikat siap membuka saluran diplomatik untuk membahas perjanjian nuklir antara Amerika Serikat dan Iran.
“Kami selalu mengatakan bahwa diplomasi adalah cara paling efektif untuk mencapai solusi efektif dan jangka panjang terhadap program nuklir Iran,” kata Matthew Miller.
Namun di Gedung Putih, ketika ditanya apakah Amerika Serikat siap melanjutkan perundingan nuklir dengan Iran, Juru Bicara Dewan Keamanan Nasional Amerika, John Kirby, mengatakan:
“Kami akan melihat apa yang ingin dia lakukan, tapi kami tidak mengharapkan adanya perubahan dalam perilaku Iran,” kata John Kirby. Kesepakatan nuklir AS-Iran masih berada di lautan abu-abu
Presiden AS Joe Biden mulai menjabat pada tahun 2021 dengan harapan untuk kembali ke perjanjian nuklir tahun 2015 dengan Iran yang dinegosiasikan di bawah mantan Presiden AS Barack Obama.
Perjanjian tersebut kemudian dicabut oleh mantan Presiden AS Donald Trump, penerus Barack Obama, yang kemudian menjatuhkan sanksi besar-besaran terhadap Iran.
Sejak itu, perundingan baru yang ditengahi Uni Eropa antara Iran dan Amerika Serikat terhenti, sebagian karena ketidaksepakatan mengenai sejauh mana AS akan mencabut sanksi terhadap Iran, The Times of Israel melaporkan.
Hubungan tersebut memburuk sejak serangan 7 Oktober 2023 oleh sekutu AS, Israel, yang menargetkan puluhan ribu warga sipil di Jalur Gaza, menargetkan kelompok perlawanan Hamas, yang diyakini AS dan Israel didukung oleh Iran.
(Tribunnews.com/Unitha Rahmayanti)