TRIBUNNEWS.COM – Kasus penganiayaan santri terjadi di salah satu pesantren (ponpes) di kawasan Duren Sawit, Jakarta Timur.
Tersangka penyerangan adalah Pimpinan Pondok Pesantren berinisial CH dan Guru Pondok Pesantren berinisial MCN.
Keduanya tampil di tempat berbeda dan bahkan tidak mengetahui tindakan seksual masing-masing.
Kasus ini terungkap setelah lima siswi bercerita kepada orang tuanya tentang tindakan bejat CH dan MCN.
Para orang tua kemudian melaporkan kejadian tersebut ke Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Bareskrim Polda Metro Jaya.
Kapolres Metro Jakarta Timur Kompol Nicolas Ary Lilipaly menjelaskan, tiga pelajar berinisial ARD (18), IAN (17), dan YIA (15) telah dianiaya MCN sejak 2021.
Sedangkan siswa berinisial NFR (17) dan RN (17) menjadi sasaran penganiayaan yang dilakukan CH sejak tahun 2019.
Selama ini para korban enggan mengajukan tuntutan karena diancam oleh tersangka.
“Mereka juga pelajar, mereka memandang pengelola, asisten, atau guru sebagai orang yang harus dihormati. Apalagi mereka juga terancam,” jelasnya, Selasa (21/1/2025).
Karena tak kuat menerima perbuatan CH dan MCN, korban membuka kasus ini.
“Sekarang mereka bisa bercerita kepada orang tuanya karena sudah tidak bisa lagi menoleransi perlakuan tersangka. Jadi tidak bisa lagi toleran terhadap rayuan, bujukan, dan ancaman yang dilakukan tersangka,” jelasnya.
Jumlah korbannya diduga bertambah, namun sejauh ini baru lima korban yang melapor.
– Kami mendalami informasi korban bahwa ada korban lain yang tidak mau melaporkan, lanjutnya.
Kompol Nicolas Ary menjelaskan, MCN yang bekerja di pesantren tersebut sejak 2021 berpura-pura meminta santri untuk memijatnya di kamar.
Modusnya adalah mengajak korban ke kamar pribadinya untuk dipijat. Perbuatannya dilakukan sejak tahun 2021 hingga 2024, kata dia.
CH yang sudah berkeluarga mengajak siswanya ke rumahnya dengan dalih bisa menghilangkan penyakit yang ada di tubuhnya.
Caranya dengan menyuruh korban untuk dipijat. Pelaku mengaku jika keinginannya terkabul maka penyakit yang ada di tubuh tersangka akan hilang dan tersangka akan sembuh, jelasnya.
Dia menambahkan, hukuman terhadap kedua tersangka bisa diperberat karena statusnya sebagai guru.
– Pelaku mempunyai hubungan kuasa dengan korban, sehingga ancaman pidananya akan lebih berat. Dari usia 15 tahun jumlahnya meningkat menjadi sepertiga, ia menggarisbawahi.
Beberapa artikel muncul di TribunJakarta.com dengan judul Guru dan Pimpinan Pondok Pesantren di Duren Sawit Cabuli 5 Santri
(Tribunnews.com/Mohay) (TribunJakarta.com/Bima Putra)