TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kasus korupsi yang melibatkan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL) di Kementerian Pertanian memasuki babak baru.
Peran pemeriksa BPK terungkap dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Tipikor Pusat, Jakarta, Rabu (8 Mei 2024).
Kementerian Pertanian telah menunjuk auditor BPK untuk memperoleh opini wajar tanpa pengecualian (WTP) dari Badan Pengawas Keuangan (BPK).
Berikut fakta persidangannya:
1. Semprotkan BPK sesering mungkin
Ternyata Kementerian Pertanian tidak sekadar menyerang auditor BPK untuk mendapatkan label WTP.
Hal ini sudah menjadi kebiasaan departemen yang dipimpin SYL, terdakwa kasus korupsi.
Hal itu diungkapkan jaksa dalam persidangan saat membacakan berita acara pemeriksaan (BAP) Hermanto, Sekretaris Direktorat Jenderal Prasarana Pertanian Kementerian Pertanian di bawah SYL.
BAP mengungkap percakapan Hemanto dengan mantan Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian (Sekjen) Muhammad Hatta yang juga duduk di dermaga sebagai SYL.
“Apakah dikatakan juga ‘perjudian’ yang sama pada tahun-tahun sebelumnya?” tanya Jaksa Agung KPK dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Pusat, Jakarta, Rabu (08/05/2024).
“Saya tidak mendengarnya,” jawab Hermanto.
“Kalau saksi lupa, saya bacakan BAP-nya: Ada, katanya. Kalimat seperti itu, pernah dimainkan?” kata jaksa saat memeriksa berkas BAP Hermanto.
“Dulu katanya seperti itu,” Hermanto membenarkan keterangan BAP.
2. Auditor BPK menuntut Rp12 miliar
Dalam persidangan, Hermanto menyebut ada auditor BPK yang menuntut Rp 12 miliar ke Kementerian Pertanian.
Pendanaan tersebut diminta agar BPK dapat memberikan opini wajar tanpa pengecualian (WTP) kepada Kementerian Pertanian.
Hermanto mengatakan, deklarasi WTP BPK ke Kementerian Pertanian terkendala rencana lumbung pangan nasional atau food estate.
Alhasil, pemeriksa BPK meminta uang pelicin sebesar Rp12 miliar.
“Tahukah saksi bahwa Departemen Pertanian melakukan pemeriksaan tahunan BPK?” tanya jaksa.
3. Menunjuk 2 orang pemeriksa BPK
Hermanto mengaku mengetahui pemeriksaan BPK terhadap Kementerian Pertanian.
Jaksa juga terus menggali informasi soal proses WTP BPK.
Hermanto membenarkan kepada JPU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nama beberapa pemeriksa BPK yang melakukan pemeriksaan di Kementerian Pertanian.
“Apakah para saksi mengenal Haerul Saleh sebelum kejadian WTP? Victor? Siapa orang-orang itu?” tanya jaksa.
“Tahukah Anda, Pak Victor adalah auditor yang mengaudit kita,” jawab Hermanto.
“Di mana Harul Saleh?” kata jaksa.
“Kepala Akuntan Keuangan Nasional (AKN) 4,” jawab Hermanto lagi.
4. Terhambatnya tawar-menawar food estate
Hermanto menceritakan di hadapan jaksa penuntut umum temuan beberapa pemeriksaan BPK terhadap program pangan Departemen Pertanian.
Hermanto mengatakan BPK hanya fokus pada hasil program sembako.
Namun, dia belum mengetahui detail hasil pemeriksaan BPK.
“Tapi bakal jadi WTP ya? Itu yang terungkap dalam penyidikan, tapi bisa saja WTP. Bisakah saksi menjelaskannya?”
“Contohnya, ditemukannya produk pangan tertentu, berarti kurang lengkap kelengkapan dokumentasinya, ya, integritas administratifnya. Istilahnya di BPK itu BDD (pembayaran di muka), dibayar di muka. Tapi ini belum TGR (klaim ganti rugi),” kata Hermanto.
Artinya, kita mempunyai peluang untuk menyelesaikan dan menyelesaikan pekerjaan. Bagaimana proses pemeriksaan BPK hingga menjadi WTP?
“Saya sebenarnya belum tahu mekanisme pastinya,” lanjutnya.
Jaksa kemudian mengangkat persoalan dugaan permintaan dana dari pemeriksa BPK.
Hermanto tak membantah klaim tersebut.
Hermanto mengatakan, ada auditor BPK yang meminta Kementerian Pertanian membayar uang fasilitasi sebesar Rp12 miliar untuk mendapatkan deklarasi WTP.
5. Nilai asuransi Rp 5 miliar
Pemeriksa BPK minta uang 12 miliar rupiah, tapi yang diterima hanya 5 miliar rupiah.
BPK memastikan menerima Rp 5 miliar.
“Pada akhirnya, apakah tuntutan sebesar 12 miliar dong dipenuhi sepenuhnya atau hanya sebagian dari apa yang diketahui saksi?”
“Belum, syarat itu belum kita penuhi. Saya dengar bisa sekitar Rp 5 miliar,” kata Hermanto.
Pernyataan WTP tersebut diterima Kementerian Pertanian sesaat setelah membayar Rp 5 miliar ke BPK.
“Pendapatnya keluar beberapa waktu kemudian?” ujar Jaksa Agung KPK.
“Berhenti. WTP keluar,” kata Hermanto.
Kasus SIL
Dalam kasus ini, SYL didakwa menerima pembayaran sebesar Rp44,5 miliar.
SYL menerima pendanaan penuh antara tahun 2020 dan 2023.
Jaksa KPK Masmudi dalam persidangan Rabu (28/2/2) mengatakan, “terdakwa memperoleh sejumlah 44.546.079.044 rupiah melalui cara-cara pemaksaan tersebut di atas saat menjabat sebagai Menteri Pertanian Republik Indonesia.” pengadilan.
SYL memperoleh uang tersebut dengan mengutip pejabat eselon satu Kementerian Pertanian.
Menurut jaksa, SYL tidak bertindak sendiri melainkan dibantu oleh Muhammad Hatta, mantan Direktur Alat dan Mesin Kementerian Pertanian, dan Kasdi Subagyono, mantan Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian (Sekjen).
Apalagi dana yang dihimpun Kasdi dan Hatta digunakan untuk kepentingan pribadi SYL dan keluarganya.
Berdasarkan dakwaan, belanja terbesar dari dana tersebut di atas adalah untuk kegiatan keagamaan, operasional kementerian, dan belanja lain-lain yang tidak termasuk dalam kategori yang ada, dengan nilai Rp16,6 miliar.
“Uang tersebut kemudian digunakan sesuai dengan perintah dan petunjuk terdakwa,” kata jaksa.
Atas perbuatannya, para terdakwa didakwa dengan Pasal 1: Pasal 12(e), Pasal 18 KUHP, Pasal 55(1), Pasal 64(1) KUHP.
Hitungan 2: Pasal 12(f), Pasal 18 KUHP, Pasal 55(1) KUHP, Pasal 64(1) KUHP.
Hitungan 3: Bagian 12B dibandingkan dengan bagian 18 PCA, bagian 55(1) dari PC, bagian 64(1) dari PC ) dibandingkan dengan model.
Penulis: Asari/Haas