Reporter Tribunnews.com Danang Triatmojo melaporkan
BERITA TRIBUNE.
Meski Peraturan Umum (PP) Nomor 109 Tahun 2012 mengatur produk kesehatan harus dilindungi dari zat yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau, namun peraturan baru ini akan kembali mengatur sektor tembakau.
Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Jawa Tengah Visnu Brata mengatakan keluarnya PP kesehatan mengancam keberlangsungan industri hasil tembakau (IHT) dan petani tembakau.
“Kalau begitu, pengangguran akan bertambah,” kata Visnu kepada wartawan, Jumat (2/8/2024).
Kalau kita lihat PP 28 Tahun 2024, sektor tembakau akan mendapat pembatasan yang sangat besar, kata Visnu.
Misalnya pelarangan penjualan eceran atau pelarangan penjualan dalam jarak 200 meter dari lembaga pendidikan.
Menurut dia, aturan tersebut akan berdampak pada rantai pendapatan di sektor tembakau, terutama bagi pedagang kecil yang mungkin akan mengalami penurunan omzet. Undang-undang ini kemudian berpotensi menimbulkan efek domino.
“Jika pedagang mengalami kerugian, dampaknya pasti akan berdampak pada petani juga. Jika penjualan menurun, maka konsumsi tembakau pun menurun. “Perusahaan terlibat dan berakhir dengan pembunuhan besar-besaran,” jelas Wisnu.
Wisnu mengatakan, diterimanya PP ini merupakan bentuk kelalaian pemerintah. Ia menilai pemerintah membuka proses tersebut karena selama ini memandang Indonesia sebagai negara pasar produk tembakau, bukan produsen.
Padahal, menurut dia, seharusnya pemerintah memilih negara tersebut sebagai produsen produk tembakau. Keberadaan rantai tembakau yang bersifat top-down di Indonesia membuktikan hal tersebut.
“Kalau IHT semakin tertekan maka akan semakin banyak pengangguran,” tegasnya.
Tentu saja, lanjut Wisnu, proses penyusunan ketentuan tersebut bersifat tertutup sehingga tidak berdampak pada pihak-pihak yang terlibat dalam IHT.
Perusahaan Visnu dan Petani menilai banyak usulan terkait pasokan yang tidak diterima.
“Suatu kebanggaan bagi pemerintah ini karena tidak menerima keinginan perusahaan tembakau, khususnya petani dan pekerja, untuk mengendalikan tembakau demi kepentingan satu kelompok. Padahal, faktor kesejahteraan berada di atas kesehatan, ujarnya.
Ia pun mengaku tak heran jika pemerintah mempunyai kepentingan di balik pengembangan IHT dari atas ke bawah.
“Karena proses ini adalah proses yang cacat. “Kami hanya diundang satu kali, dan pada diskusi-diskusi berikutnya kami tidak diundang lagi,” tutupnya.