Laporan jurnalis Tribunnews.com Namir Yunia Lesanti
TRIBUNNEWS.COM, WASHINGTON – Pemerintahan Joe Biden telah berhenti mengirim 3.500 bom ke Israel, penangguhan itu terjadi tepat setelah Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu memerintahkan pasukan militer Israel (IDF) untuk menyerang Rafah.
“Kami telah berhenti mengirimkan bom ke Israel karena kekhawatiran bahwa negara Israel akan memutuskan untuk melancarkan serangan besar-besaran di kota Rafah di Gaza selatan,” kata seorang pejabat senior AS.
Sebelum penangguhan berlaku, Gedung Putih mengecam Netanyahu karena membatalkan rencana memasuki Rafah, karena wilayah tersebut adalah rumah bagi 1,2 juta pengungsi dari Gaza.
Namun Israel tidak menghiraukan kritik tersebut, negara Zionis terus menyerang kota Rafah setelah tentara Israel memerintahkan sekitar 100.000 warga Palestina meninggalkan kota tersebut menuju Al Mawasi yang berada di pantai Gaza.
Tak lama kemudian, perbatasan Rafah ditutup dan tank-tank Israel mulai memasuki wilayah selatan Palestina. Menurut seorang pejabat keamanan Palestina yang tidak disebutkan namanya, tank-tank Israel datang dalam jarak 200 meter dari terminal Penyeberangan Rafah, yang berada tepat di perbatasan Mesir.
Alasan tersebut mendesak Presiden Joe Biden mengambil langkah drastis untuk menghentikan pengiriman 3.500 bom yang terdiri dari 1.800 bom seberat 2.000 pon (907 kg) dan 1.700.500 pon (226 kg) bom, seperti dikutip dari Washington Post.
Biden beralasan penundaan itu diperlukan untuk mengantisipasi bom AS yang akan digunakan untuk menyerang kawasan padat penduduk Rafah yang saat ini menampung sekitar satu juta pengungsi di Gaza.
FYI, ini adalah kali pertama AS berhenti mengirimkan senjata ke Israel, mengingat selama puluhan tahun AS menjadi pendukung utama pendanaan militer Israel dalam setiap perang melawan musuh-musuhnya.
Tak tanggung-tanggung dalam bantuan pertahanannya kepada Israel, Negeri Paman Sam menyumbangkan bantuan militer sebesar US$3,8 miliar atau setara Rp60,27 triliun setiap tahunnya.
Bahkan ketika ketegangan antara Hamas dan Israel terus berlanjut, AS terus memasok Tel Aviv dengan 21.000 peluru artileri 155 mm, ribuan amunisi penghancur bunker dan 200 drone kamikaze, serta Spice Family Gliding Bomb Assemblies atau the setara Rp 5 triliun.
Saat itu, AS mengklaim penjualan rudal anti-tank ke Israel merupakan bentuk dukungan terhadap kepentingan keamanan Timur Tengah terhadap ancaman Hamas. Namun tindakan tersebut menimbulkan sorotan negatif dari sejumlah pihak.
Salah satunya, aktivis hak asasi manusia, mengatakan tindakan Amerika tidak sejalan dengan upaya Washington menekan Israel untuk mengurangi korban sipil di Gaza. Faktanya, transfer senjata tersebut bisa memperburuk perundingan perdamaian yang sedang berlangsung.