AS Cabut Larangan Penjualan Senjata Ofensif ke Arab Saudi

TRIBUNNEWS.COM – Departemen Luar Negeri AS mengumumkan pada Jumat (8/9/2024) bahwa pemerintahan Joe Biden telah memutuskan untuk segera mencabut larangan penjualan senjata ofensif AS ke Arab Saudi.

Reuters adalah media pertama yang melaporkan keputusan tersebut sebelumnya, dengan mengutip lima sumber.

Gedung Putih menggunakan embargo tiga tahun lalu untuk menekan Arab Saudi agar mengakhiri perang di Yaman.

Pejabat tinggi departemen tersebut juga menegaskan bahwa Departemen Luar Negeri telah mencabut moratorium terkait transfer senjata udara tertentu ke Arab Saudi.

“Kami akan memproses setiap transfer baru sesuai dengan Kebijakan Transfer Senjata Konvensional,” kata pejabat itu, seperti dikutip VOA Search.

Secara terpisah, seorang staf kongres mengatakan pemerintah memberi tahu Kongres minggu ini tentang keputusan untuk mencabut larangan tersebut.

Sumber tersebut mengatakan penjualan bisa dimulai setidaknya minggu depan.

Pemerintah AS kemudian mengeluarkan pemberitahuan penjualan tersebut pada Jumat sore (8 September 2024), menurut seseorang yang mengetahui masalah tersebut.

“Saudi telah memenuhi janji mereka dalam perjanjian tersebut, dan kami siap memenuhi janji kami,” kata seorang pejabat senior pemerintahan Biden.

Menurut undang-undang AS, setiap perjanjian senjata internasional yang dianggap penting harus ditinjau oleh anggota Kongres sebelum dapat disetujui dengan suara bulat, demikian dikutip Middle East Monitor.

Dalam beberapa tahun terakhir, baik anggota parlemen dari Partai Demokrat maupun Republik mempertanyakan pasokan senjata ofensif ke Arab Saudi, dengan alasan berbagai masalah termasuk korban sipil dalam kampanye di Yaman dan berbagai masalah hak asasi manusia.

Namun, penolakan terhadap penjualan senjata saat ini melemah mengingat gejolak di Timur Tengah, pasca perang antara Israel dan Hamas sejak 7 Oktober 2023, dan karena perubahan pendekatan Saudi terhadap perang di Yaman, lapor Times of Israel . .

Seorang pejabat pemerintah mengatakan serangan udara Saudi di Yaman telah berhenti sejak Maret 2022, ketika Saudi dan Houthi menyetujui perjanjian gencatan senjata yang ditengahi PBB, dan sebagian besar tembakan yang datang dari Yaman ke wilayah kerajaan juga telah berkurang.

“Kami juga mencatat langkah-langkah positif yang diambil Kementerian Pertahanan Saudi selama tiga tahun terakhir untuk secara signifikan meningkatkan prosedur guna mengurangi ancaman publik, sebagian berkat kerja keras para pelatih dan penasihat AS,” kata seorang pejabat Departemen Luar Negeri. Hubungan Amerika-Arab mulai menghangat

Perang di Yaman seringkali dianggap sebagai konflik antara Iran dan Arab Saudi.

Setelah menggulingkan pemerintah yang didukung Saudi di Sanaa pada akhir tahun 2014, kelompok Houthi telah terlibat dalam memerangi koalisi militer pimpinan Saudi sejak tahun 2015.

Konflik tersebut telah menewaskan ratusan ribu orang dan menyebabkan 80 persen warga Yaman membutuhkan bantuan kemanusiaan.

Pada tahun 2021, Biden memperkuat kebijakan penjualan senjata ke Arab Saudi, mengutip kampanye militer kerajaan tersebut melawan Houthi yang didukung Iran di Yaman, yang mengakibatkan banyak korban jiwa.

Hubungan antara kerajaan dan Amerika Serikat telah menghangat sejak saat itu.

Setelah serangan Hamas pada 7 Oktober, Washington membangun hubungan dekat dengan Riyadh untuk mengembangkan rencana Jalur Gaza pascaperang.

Pemerintahan Biden menyetujui perjanjian pertahanan dan kerja sama dengan Riyadh sebagai bagian dari kesepakatan yang lebih besar.

Termasuk menormalisasi hubungan Arab Saudi dengan Israel, meski tujuan tersebut dinilai masih sulit tercapai.

Keputusan ini diambil karena ancaman di kawasan ini meningkat sejak akhir bulan lalu.

Iran dan kelompok Hizbullah Lebanon yang didukung Iran telah bersumpah membalas dendam terhadap Israel setelah pembunuhan pemimpin politik Hamas Ismail Haniyeh di Teheran.

Kelompok Houthi terbukti menjadi pendukung setia Hamas dalam perangnya dengan Israel.

Awal tahun ini mereka menyerang kapal dagang yang mereka katakan mempunyai koneksi ke Israel atau sedang dalam perjalanan ke pelabuhan Israel. 

(Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *