Reporter Tribunnews.com Denis Destryavan melaporkan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Ketua Umum Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia (APKLI), Jenderal Perjuangan Ali Mahsun mengatakan, perekonomian saat ini berjumlah 65,4 juta jiwa. Namun, kurang dari setengahnya masih belum melek literasi keuangan dan digital.
Ali mengatakan, era digital ekonomi baru menjadi tantangan bagi para pedagang kaki lima. Digitalisasi adalah suatu keharusan, namun di sisi lain harus diimbangi dengan literasi keuangan dan pemahaman digital agar kita tidak menjadi korban.
Masyarakat perekonomian sebagian besar masih belum melek digital,” kata Ali saat dihubungi, Selasa (9/7/2024).
Menurut Ali, para pelaku ekonomi kerakyatan sangat membutuhkan literasi keuangan dan pembelajaran digital yang inklusif. Kebanyakan dari mereka berada di pedesaan, pedesaan dan perkotaan.
“Hanya 40 persen peserta human economy yang melek digital atau setara dengan 30 juta peserta human economy,” kata Ali.
Ali menambahkan, mereka juga melakukan konsolidasi pembayaran melalui QRIS dan manual. Oleh karena itu, pemerintah mempunyai kewajiban untuk memaksimalkan sosialisasi yang melibatkan banyak pihak, termasuk organisasi.
“Agar ada percepatan literasi keuangan dan pemahaman digitalisasi,” kata Ali.
Ali menambahkan, pemahaman literasi keuangan penting dilakukan karena ke depan peminjam bank akan melihat pencatatan transaksi secara digital. Oleh karena itu, ia menyarankan agar pemerintah bekerja sama dengan semua pihak untuk meningkatkan pemahaman literasi keuangan dan digital savvy di kalangan pelaku UMKM.
“Bisa dicek di 14.500 pasar tradisional dengan jumlah pedagang sekitar 14-15 juta yang sebagian besar masih manual,” imbuh Ali.
Indra, seorang praktisi dan CEO PT Trans Digital Cemerlang (TDC), sebuah perusahaan agregator perdagangan, mengakui pangsa pasar transaksi digital, khususnya penggunaan QRIS di kalangan UMKM dan pedagang kecil, sangat tinggi.
Bank Indonesia (BI) mencatat transaksi Standard Quick Response Code Indonesia alias QRIS pada April 2024 tumbuh sebesar 175,44% year-on-year (YoY).
Berdasarkan data, kampanye transaksi digital sudah berjalan sesuai rencana. Namun harus dipahami bahwa perlu waktu untuk menjangkau seluruh wilayah, terutama di pedesaan, ujarnya.
Indra mengatakan Bank Indonesia tidak bisa bekerja sendiri dalam kampanye transaksi digital nasional. Seluruh pemangku kepentingan dan perusahaan yang bergerak di bidang transaksi digital harus melakukan kegiatan massal yang sama dan harus dibarengi dengan kreativitas dan inovasi.
Contoh inovasi perusahaan pada produk Posku Lite untuk pembayaran QRIS pada komunitas UMKM adalah pemberian insentif untuk mendorong literasi keuangan, seminar dan workshop rutin mengenai pemasaran digital dan insentif kemitraan lainnya.
“Kami bekerja sama dengan mitra masyarakat kami di Sumatera, Tamado Group, untuk menjangkau UMKM dengan mengadakan kampanye UMKM Go Digital di Pematang Siantar dan Kabupaten Samosir. “Selanjutnya di Sabang (Aceh), Bali dan Banka kita sasar UMKM di desa-desa,” ujarnya.
Indra mengatakan, alasan edukasi UMKM dan bantuan penasihat keuangan penting untuk menghasilkan laporan keuangan yang berkualitas. Laporan keuangan merupakan alat utama untuk memantau kinerja keuangan dan arus kas UMKM.
“Laporan keuangan juga menjadi alat bagi pemilik usaha untuk mengambil keputusan dan strategi bisnis yang baik, termasuk menarik investor. Dari segi hukum tentunya juga untuk pelaporan dan pembayaran pajak, agar sesuai dengan peraturan yang ada,” dia dikatakan.
Meski demikian, Indra berharap perusahaan penyedia bantuan dan nasehat keuangan digital sudah memiliki ISO 9001:2015 tentang manajemen mutu, ISO 37001:2016 tentang sistem manajemen anti suap, dan ISO 27001:2022 tentang sistem keamanan informasi.
“Penting bagi UMKM untuk mengetahui identitas perusahaan penyedia sistem transaksi digital atau perusahaan yang akan memberikan bantuan keuangan, salah satunya adalah kepemilikan ketiga ISO di atas, karena ini bagian dari perlindungan terhadap konsumen. ,” dia menambahkan.