TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Serikat Pekerja Indonesia (Apindo) meminta seluruh pemangku kepentingan menyikapi pembahasan besaran upah minimum nasional (UMP) yang diputuskan pemerintah pada November mendatang.
Sebab, keputusan UMP 2025 akan sangat menentukan minat investasi asing di tengah upaya Pemerintah baru mendapatkan dana untuk melanjutkan pembangunan.
Bob Azam, Manajer Apindo Bidang Ketenagakerjaan, menilai pemerintah Indonesia telah berhasil menetapkan metode penghitungan UMP yang sesuai bagi pekerja dan pengusaha sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 51 Tahun 2023 tentang Retribusi. PP ini merupakan revisi dari dua peraturan sebelumnya yaitu PP no. 36 Tahun 2021 dan PP No. 78 Tahun 2015.
“Dalam penetapan UMP baru sebaiknya tetap menggunakan rumus PP 51, jangan diubah rumusnya. Karena kebenaran undang-undang tidak penting bagi dunia usaha, tetapi juga bagi pekerja dan investor,” kata Bob. . Rabu (30/10).
Dia mencontohkan, jika ada investor asing yang ingin berinvestasi di Indonesia, pasti akan menghitung biaya tenaga kerja, termasuk gaji pekerjanya, minimal selama 5 tahun.
Jika cara penghitungan penetapan UMP berubah setiap tahunnya, hal ini dapat merangsang investor asing yang ingin berinvestasi di negara terkait.
“Bagaimana cara menghitung biaya operasional 5 tahun ke depan jika ditetapkan setiap tahun?
Jika harga naik dalam situasi permintaan yang lemah saat ini, perusahaan tidak akan mampu menaikkan harga jual produknya. Pilihannya adalah melampaui batas.
Namun jika batasannya diturunkan terlalu banyak, investor tidak akan berpartisipasi. Mereka akan memperhitungkan kemungkinan margin besar jika berinvestasi di Vietnam, misalnya. “Jadi kita harus memikirkan semuanya,” kata Bob. Mempromosikan dua cabang untuk perekonomian kerakyatan
Menurut Bob, Apindo sangat mendukung upaya presiden baru Indonesia, Prabowo Subianto, untuk memperkuat sektor publik dengan prinsip ekonomi kerakyatan.
Sebagai bagian dari masyarakat, Apindo sepakat para pekerja juga harus meningkatkan daya belinya agar perekonomian negara bisa cepat berputar.
Oleh karena itu, menurutnya, Apindo tidak mempermasalahkan usulan beberapa kelompok kerja yang menuntut kenaikan UMP sebesar 8-10 persen.
“Dari sudut pandang ini, kami sangat setuju kalau pendapatannya ditingkatkan. Tapi maksudnya berkelanjutan, jangan sampai sekarang tinggi tapi kehilangan pekerjaan karena usahanya jalan.
Inflasi yang tidak berkelanjutan adalah kenaikan UMP lebih besar dibandingkan kenaikan produk. Kalau suatu perusahaan misalkan produknya 5%, lalu harganya naik 7%, maka selisih 2% tersebut akan ditambah dengan harga jual produk tersebut. “Jadi kalau upah buruh kita naikkan, maka harga juga naik, tidak ada gunanya hasilnya,” ujarnya.
Menurut Bob, UMP 2025 tidak bisa diterapkan secara merata di semua tempat oleh Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker). Karena kondisi ekonomi dan bisnis berbeda-beda di setiap tempat.
Oleh karena itu, Apindo terus mendorong seluruh anggotanya untuk terus memperkuat hubungan bipartisan dengan kaum buruh guna menemukan titik temu mengenai tingkat upah yang adil di setiap kelompok.
“Dialog bipartit dapat menyelesaikan permasalahan pengupahan ini dengan menyepakati struktur pengupahan dan skala pengupahan (SUSU). Kami mendorong anggota Apindo untuk membangun SUSU berdasarkan kompetensi.
Cara setiap perusahaan bernegosiasi dengan serikat pekerja adalah dengan mengembangkan struktur upah. Setelah itu, serikat pekerja akan menyampaikan gagasan dan usulan kepada serikat pekerja hingga tercapai kesepakatan. Jadi jangan hanya memikirkan UMP nasional saja, tapi secara bisnis harus ada pembicaraannya, kata Bob.
SUSU berbeda-beda tiap kelompok sesuai kapasitasnya.
“Kalau keuangan perusahaan bagus dan karyawannya baik, silakan dibicarakan. Tapi kalau bisnisnya kurang bagus, bisa ditutup,” ujarnya.
Ia menambahkan, di dunia usaha ada istilah indeks Kaitz, yaitu ukuran global yang digunakan untuk mengukur tinggi rendahnya upah di suatu daerah.
Artinya, membandingkan upah minimum yang ditetapkan dengan upah rata-rata aktual yang diperoleh pekerja di wilayah tersebut.
Bob mengatakan skor Kaitz terbaik adalah 0,4 hingga 0,6 atau 40% hingga 60% dari gaji rata-rata dibandingkan gaji minimum.
“Di Indonesia indeksnya mendekati 1,2. Artinya upah minimum lebih tinggi dari rata-rata upah riil yang diterima. Karena permasalahannya adalah negosiasi bilateral tidak berjalan. Kurang berkembangnya hubungan bisnis di Indonesia, sehingga menjadi sebuah masalah. tempat yang buruk bagi investasi negara kita. “Tanpa investasi dari luar, bagaimana bisa, karena investasi itu perlu konsistensi regulasi,” kata Bob.
Kementerian Ketenagakerjaan sendiri sudah memastikan akan memutuskan UMP 2025 pada November 2024. Menteri Ketenagakerjaan Yassierli mengatakan pembahasan UMP akan dilanjutkan dalam rapat kerja dengan Komisi IX di DPR.
Menurut dia, Kementerian Ketenagakerjaan akan menggunakan data Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai dasar penetapan UMP 2025 berdasarkan simulasi, tingkat inflasi, dan pertumbuhan ekonomi.
“Kita tunggu datanya dari BPS, baru kita lihat bagaimana perhitungannya, seperti apa,” ujarnya.
Menurut dia, pemerintah belum memutuskan rencana penghitungan UMP 2025. Namun, dia mengatakan bahwa lingkungan penghitungan UMP inflasi beberapa tahun terakhir + (pertumbuhan bisnis X adalah indeks / α) disesuaikan dengan indeks PP. 51.
Dalam pasal 26 beleid tersebut terdapat tiga variabel dalam penghitungan upah minimum, yaitu inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks (ditandai dalam bentuk α atau alpha). Ada beberapa statistik dalam rentang nilai 0,10 hingga 0,30.