TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ketua Federasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPI) yang juga Ketua Serikat Pekerja, Said Iqbal, menjelaskan mengapa program penghematan perumahan rakyat (Tapera) sebaiknya tidak dilakukan saat ini. waktu.
Sebab, menurutnya, tidak ada jaminan karyawan akan langsung mendapatkan rumah setelah mengikuti program Taper
Diketahui, besaran tabungan anggota Taper ditetapkan sebesar 3 persen dari gaji pegawai. 0,5 persen ditanggung oleh Majikan dan 2,5 persen ditanggung oleh Pekerja sendiri.
“Pertama, belum ada kejelasan mengenai program Taper, terutama apakah karyawan dan anggota Taper otomatis mendapat tempat tinggal setelah mengikuti program Taper. “Kalau dipaksakan bisa merugikan pegawai dan anggota Taper,” kata Iqbal.
Berdasarkan akal sehat dan kalkulasi, dia menilai iuran Tapera sebesar 3 persen tidak akan cukup bagi pekerja untuk membeli rumah di usia pensiun atau saat PHK.
Saat ini, dia menjelaskan rata-rata gaji pekerja Indonesia sebesar Rp3,5 juta per bulan. Jika dikurangi 3 persen per bulan, preminya sekitar 105.000 per bulan atau Rp. 1.260.000 per tahun.
Karena Tapera merupakan tabungan sosial, Said Iqbal mengatakan, dalam 10 hingga 20 tahun ke depan, uang yang terkumpul berkisar antara Rp12.600.000 hingga Rp25.200.000.
“Pertanyaan besarnya adalah apakah harga rumah akan menjadi Rp 12,6 juta dalam 10 tahun ke depan atau Rp 25,2 juta dalam 20 tahun ke depan. “Kalaupun keuntungan perusahaan ditingkatkan dengan tabungan sosial Tapera, karyawan tidak akan bisa menggunakan uang yang terkumpul untuk membeli rumah,” kata Said Iqbal.
“Oleh karena itu, dalam hal iuran 3% untuk penyediaan rumah bagi karyawan, maka karyawan dan anggota Taper tidak dapat memiliki rumah. “Jangan khawatir dengan beban harus menahan gaji karyawan setiap bulannya, ketika pensiun atau terkena PHK, Anda tidak akan bisa memiliki rumah,” jelasnya.
Said Iqbal juga menyebut program penghematan perumahan rakyat (Tapera) terkesan dipaksakan.
Ia juga menyinggung kasus Asabri dan Taspen yang melibatkan korupsi.
“Program Taper terkesan dipaksakan untuk menghimpun dana masyarakat, khususnya dari pegawai, pejabat, TNI/Polri, dan masyarakat pada umumnya. “Jangan sampai korupsi merajalela di Taper seperti yang terjadi di ASABRI dan TASPEN,” kata Iqbal.
Sehingga Said Iqbal mengatakan program Taper tidak dilaksanakan dengan baik. Dulu, ada pengawasan ketat untuk memastikan tidak terjadi korupsi pada dana Tapera.
“Partai Buruh dan KSPI menolak rencana Tapera yang sedang dilaksanakan karena akan semakin membebani perekonomian buruh, pejabat pemerintah, TNI, Polri, dan anggota Tapera,” kata Iqbal. Diagram Kasus (TRIBUN MANADO / ANDREAS RUAUW)
Ia menegaskan, Partai Buruh dan KSPI tengah menyiapkan aksi besar terkait Tapera, omnibus law UU Cipta Kerja, dan program jaminan kesehatan KRIS yang membebani warga.
Sementara itu, Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti Trubus Rahardiansah mengomentari pemotongan gaji akibat iuran Dana Perumahan Rakyat (Tapera).
Menurut dia, biaya tersebut hanya pantas bagi Aparatur Sipil Negara atau ASN. Pada saat yang sama, jelas bagi karyawan dan pekerja lepas bahwa penggunaan semacam itu merupakan sebuah beban.
“Tapera untuk ASN tepat karena memberikan banyak manfaat dan jaminan gaji setiap bulannya. “Sulit bagi pegawai atau karyawan,” kata Trubus, Rabu (29 Mei).
Selain itu, menurut PP 21 juga mencakup wiraswasta atau wiraswasta yang juga ikut serta dalam skema tersebut. Artinya, lebih berat dibandingkan 3 persen yang harus Anda bayarkan sendiri.
“Di luar ASN, ini bukan solusi yang tepat karena bebannya berat. “Kalau perusahaan mendukung karyawannya, bagaimana dengan pekerja mandiri,” jelasnya.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penerapan Penghematan Perumahan Rakyat (Tapera).
Berdasarkan aturan tersebut, setiap pegawai yang berusia di atas 20 tahun atau sudah menikah dan mempunyai penghasilan minimal sebesar upah minimum wajib menjadi anggota Taper.
Presiden Jokowi mengatakan, aturan tersebut berdasarkan hasil penelitian dan perhitungan.
“Iya semua dihitung, itu biasa saja, di kebijakan baru masyarakat juga akan menghitung, bisa atau tidak, sulit atau tidak,” kata Jokowi usai menghadiri acara pelantikan pengurus GP Ansor di Istor Senayan, Jakarta, Senin lalu.
Menurut Presiden, wajar jika setiap kebijakan baru pemerintah mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Presiden mencontohkan kebijakan penerapan sistem jaminan BPJS kesehatan. Pada awalnya kebijakan yang digunakan memiliki kelebihan dan kekurangan.
“Seperti dulu, BPJS selain 96 juta BPI gratis juga ramai sekali, tapi setelah diluncurkan, saya rasa manfaatnya rumah sakit yang gratis,” ujarnya.
Menurut Jokowi, kebijakan seperti itu baru akan terdengar setelah diterapkan. Namun pada awalnya, sebelum memulai, selalu ada kelebihan dan kekurangannya.
“Inilah yang akan Anda rasakan setelah berjalan-jalan. “Kalau tidak biasanya ada pro dan kontra,” jelasnya.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penerapan Penghematan Perumahan Rakyat (Tapera).
Sesuai dengan Seni. 7 PP kasus Taper, kelompok pegawai yang wajib menjadi peserta meliputi pegawai atau pegawai swasta, tidak hanya pegawai ASN, BUMN, dan aparat TNI-Polri.
Dalam PP ini, besaran simpanan dana Taper yang ditransfer setiap bulannya sebesar 3 persen dari gaji atau upah pegawai. Setoran dana Taper ditanggung bersama oleh pemberi kerja yaitu sebesar 0,5% dan pekerja sebesar 2,5%.
Sedangkan untuk freelancer atau pekerja lepas, hal tersebut ditanggung oleh freelancer itu sendiri.
Pemberi kerja wajib menyetorkan tabungan Taper setiap bulan, sebelum tanggal 10 bulan berikutnya pada bulan tabungan yang bersangkutan, ke dalam rekening dana Taper. Hal yang sama berlaku untuk pekerja lepas.
Pemerintah memberikan waktu kepada pengusaha untuk mendaftarkan pekerjanya ke Badan Pengelola (BP) Tapera sebelum 7 tahun sejak tanggal berlakunya PP 25/2020. (Jaringan Tribun/Juda).