Apa perbedaan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) dengan sistem kelas 1,2, dan 3 dalam pelayanan BPJS Kesehatan?

Banyak pengguna BPJS Kesehatan yang khawatir penerapan Tarif Standar Perawatan Rumah Sakit (KRIS) akan mempersulit pencarian kamar di rumah sakit. Meski demikian, BPJS Kesehatan menegaskan sistem kelas tidak akan dihapuskan. Apa perbedaan sistem KRIS dengan sistem kamar rumah sakit lama?

Rizki Anugrah, Direktur Humas Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan dan Sosial (BPJS), membenarkan dalam Perpres terbaru tidak ada klausul yang menghapuskan sistem Kelas 1, 2, dan 3 yang saat ini berlaku pada layanan rumah sakit BPJS. .

Namun, ia mengumumkan seluruh ruangan peserta program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) akan distandarisasi sesuai 12 standar standar KRIS yang tertuang dalam Perpres Nomor 59 Tahun 2024.

Timboel Siregar, Koordinator BPJS Watch, menilai penerapan KRIS dapat menyebabkan backlog pasien karena dapat menghambat akses kamar rumah sakit.

“Saat ini ruang perawatan kelas 1, 2, dan 3 diperuntukkan bagi pasien JKN, namun masih terdapat kesulitan dalam mengakses ruang perawatan, terutama untuk KRIS nanti,” kata Timboel kepada BBC News Indonesia, Selasa).

Menanggapi hal tersebut, Juru Bicara Kementerian Kesehatan mengatakan pihaknya telah melakukan perhitungan untuk memastikan jumlah tempat tidur di rumah sakit akan mencukupi penyediaan KRIS sehingga “tidak ada pengurangan tempat tidur”.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) Nur Arida Sofiana mengakui proses standardisasi KRIS “masih sulit” bagi banyak rumah sakit swasta karena pembelian peralatan dan infrastruktur masih berlangsung.

Pengamat kebijakan kesehatan Hermavan Saputra mengatakan manajemen rumah sakit, terutama rumah sakit swasta, memerlukan “reinvestasi besar-besaran” jika ingin memenuhi standar kualitas yang diperlukan untuk menerapkan KRIS.

Perpres Nomor 59 Tahun 2024 menyatakan bahwa penerapan fasilitas KRIS oleh rumah sakit akan dilakukan secara bertahap sampai dengan tanggal 30 Juni 2025, sedangkan penetapan manfaat, tarif dan biaya KRIS mulai berlaku paling lambat tanggal 1 Juli 2025;

Lalu perbedaan apa yang akan muncul ketika pemerintah mulai menerapkan KRIS secara penuh? Apa perbedaan kelas pasien rawat inap sistem KRIS dengan peserta program JKN?

Manajer Humas BPJS Kesehatan, Rizki Anugrah menjelaskan, KRIS merupakan sistem standardisasi baru yang digunakan dalam pelayanan rumah sakit BPJS Kesehatan.

Berkat penerapan kebijakan ini, seluruh lapisan masyarakat akan mendapat pelayanan yang sama dari rumah sakit, baik medis maupun non medis, tanpa diskriminasi golongan.

“Dengan KRIS, kami berharap seluruh fasilitas kesehatan mampu memberikan pelayanan yang setara. “Karena lembaga ini sudah memutuskan bagaimana KRIS akan menjadi standarnya,” kata Rizki kepada BBC News Indonesia.

Apalagi, Perpres tersebut menetapkan 12 standar yang akan dijadikan standar minimal bidang pelatihan stasioner bagi peserta JKN.

Berikut 12 kriteria fasilitas dan layanan yang akan tersedia di setiap KRIS: Elemen bangunan yang digunakan tidak boleh terlalu berpori. Ventilasi udara. Pencahayaan ruangan. Integritas tempat tidur (dilengkapi dengan setidaknya dua kotak kontak dan tidak ada cabang atau sambungan langsung tanpa pelindung arus). Sebuah meja kecil untuk satu tempat tidur. Suhu ruangan stabil: 20-26°C. Ruang perawatan dibagi berdasarkan jenis kelamin, anak dan dewasa, serta penyakit menular dan tidak menular. Kepadatan ruang perawatan dan kualitas lokasi. Jarak minimal tepi tempat tidur 1,5 meter, jumlah kamar 4 tempat tidur, dimensi tempat tidur minimal: L: 200 cm, lebar 90 cm dan tinggi: 50 – 80 cm dan dua buah kran. tempat tidur. Tirai atau partisi antar tempat tidur. Kamar mandi stasioner. Arah bukaan pintu, bukaan kunci pintu dari kedua sisi, ventilasi (exhaust fan atau jendela). Kamar mandi memenuhi standar aksesibilitas. mempunyai tanda atau simbol “penonaktifan” pada bagian luar, mempunyai ruang yang cukup bagi pengguna kursi roda, dilengkapi dengan handrail atau pegangan tangan, permukaan lantai tidak licin dan tidak menimbulkan genangan air, serta mempunyai kemampuan memanggil perawat. terhubung ke ruang perawat. Keluaran oksigen.

Meski demikian, Rizki mengatakan penerapan KRIS di RS bukan berarti menghapuskan sistem pengklasifikasian pasien rawat inap ke dalam kelas 1, 2, dan 3. Ia mengatakan, sistem kelas akan tetap berfungsi, hanya kualitas ruangan yang akan ditetapkan. sesuai dengan standar.

“Untuk saat ini masih berlaku untuk kelas 1, 2, 3. Sesuai dengan Keppres RA Nomor 64. Masih kita tangani karena Perpres perubahan ketiga ini hanya sebagian pasalnya,” ujarnya. .

Terkait besaran biaya kelas pasca diperkenalkannya KRIS, Rizki mengatakan BPJS Kesehatan masih menunggu peraturan turunan berupa peraturan menteri yang akan diterbitkan Kementerian Kesehatan.

Dia mengatakan, biaya sebenarnya disesuaikan setiap dua tahun sekali. Perubahan kali ini akan dibarengi dengan keputusan investasi pada peraturan Menteri Kesehatan yang mengatur tentang KRIS.

“Tentunya ketika ada perubahan tarif, kita tidak hanya melihat kebutuhan dan kenaikan serta penyesuaiannya saja, tapi kita juga akan melihat pilihan-pilihan yang ada di masyarakat,” kata Rizky.

Siti Nadia Tarmizi, Kepala Kantor Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan, mengatakan pihaknya belum memulai pembicaraan mengenai besaran investasi penerapan KRIS bagi peserta BPJS.

“Peserta BPJS berhak mendapat kelas stasioner standar, sudah tidak ada lagi kelas I, II, III. Jadi tidak ada pilihan, kalau 1 maka bayar biayanya seperti ini,” kata Nadia.

Ia mengatakan, saat ini Kementerian Kesehatan terus fokus menyiapkan pelayanan dan standarisasi rumah sakit.

Pada kesempatan lain, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyampaikan bahwa BPJS kesehatan kelas 1, 2, dan 3 tidak dihapuskan melalui Perpres Nomor 59 Tahun 2024. Sebaliknya, standarnya disederhanakan melalui kelas rawat inap terstandar atau KRIS.

“Dulu kelas tiga, sekarang semua sudah naik ke kelas dua dan satu. “Jadi mudah-mudahan lebih sederhana dan pelayanan publik lebih baik,” kata Budi kepada Kompas.com, Selasa (14 Mei).

Ia memastikan, pihaknya akan segera mengumumkan Peraturan Menteri Kesehatan selanjutnya yang akan ditandatangani Presiden Joko Widodo. “Yang paling penting adalah mendapatkan kamar dan melanjutkan perawatan.”

Mima (bukan nama sebenarnya), yang menderita leukemia, mengungkapkan kekhawatirannya apakah sistem KRIS bisa beroperasi penuh. Karena sekarang pun sulit mendapatkan kamar di rumah sakit.

“Soalnya pasti penuh lagi karena semua kamarnya sama [tipe]. “Kekhawatiran saya adalah apakah semua ruangan akan tersedia di setiap kelas,” katanya.

Ia mengaku sudah dirawat di rumah sakit selama satu setengah tahun terakhir. Dua minggu lalu, rumah sakit yang dia datangi kehabisan tempat tidur. Jadi Mima harus menunggu satu setengah bulan. Saat menunggu, kesehatannya memburuk.

“Saya akhirnya pingsan jadi saya harus memulai kemoterapi lagi. “Jadi Anda tidak bisa menghentikan pengobatan,” katanya.

Mima bilang dia tidak pernah peduli dengan kelas. Dia ingin pergi ke setiap kelas selama masih ada tempat.

“Itu tergantung pada apa yang tersedia. “Tidak masalah kipas angin dimatikan atau tempat tidur terlalu banyak, yang penting dapat kamar dan tetap menjaga chemistry,” kata Mima.

Berbeda dengan Mima, Agnes (bukan nama sebenarnya) merupakan pasien kanker yang sudah menjalani perawatan selama enam bulan. Agnes sudah terbiasa memiliki ruang kelas di kelas tiga dan tidak kesulitan mencari ruang sampai sekarang.

“Setiap kali ada kemoterapi, kami selalu punya ruang. Secara pribadi, saya selalu memiliki banyak fasilitas. “Tidak pernah ada gangguan,” katanya.

Agnieszka menceritakan bagaimana implementasi KRIS sudah berjalan di rumah sakit tempatnya dirawat. Jadi dia sendiri yang merasakan perbedaan kamar kelas 3 dengan standar KRIS.

“Sudah berlaku, bagus,” kata Agnes.

Ia menyatakan, jika tarif kelas 3 naik setelah berlakunya keputusan tarif KRIS, ia hanya bisa pasrah dan membayar. Karena dia perlu melanjutkan pengobatan kankernya.

– Ya, tidak masalah, jika memang seharusnya begitu. “Dari yang saya lihat sebenarnya tidak ada masalah [dengan pengobatan],” ujarnya. Pengamat BPJS memperingatkan KRIS untuk tidak “menghalangi akses”

Koordinator BPJS Watch Timboel Siregar mengatakan, tidak ada satu kata pun dalam Perpres Nomor 59 Tahun 2024 yang secara tegas menyatakan sistem kelas di BPJS akan dihapuskan.

Namun, menurut dia, pemerintah sudah “bergerak ke arah tersebut”.

Timboel mengatakan, meski sistem penetapan harga berdasarkan kelas tetap dipertahankan, maka akan semakin banyak masyarakat yang memilih kelas 3. Sebab, menurutnya standar kamar kelas 3 sama dengan kelas 1 atau 2.

Sebagai perbandingan, biaya Kelas 1 saat ini sebesar Rp 150.000, Kelas 2 sebesar Rp 100.000, dan Kelas 3 sebesar Rp 35.000.

“Kalau sekarang sedang dalam tahap transisi, saya akan dirawat di ruang KRIS. “Mengapa saya harus membayar 150.000 dram?” – Dia bertanya.

Dia mengatakan, sistem iuran KRIS akan menurunkan laba investasi sehingga pendapatan BPJS Kesehatan pun ikut menurun sehingga berujung defisit.

“Itu adalah insiden berdarah yang terjadi antara tahun 2014 dan 2020. Jangan lakukan ini. Jika iya, siapakah korbannya? “Iya, pasien lain,” kata Timboel.

Oleh karena itu, ia memperkirakan dengan diperkenalkannya KRIS setidaknya tol Kelas 3 akan meningkat. Timboel meyakini, untuk tol, sistem tarif terpadu bisa diterapkan, yaitu tol Kelas 1 dan 2 akan dikurangi dan tol Kelas 3 akan diturunkan. meningkatkan.

Lebih lanjut, ia menyatakan besaran pemberian KRIS di rumah sakit, yakni 60% untuk RS pemerintah dan 40% untuk RS swasta, justru dapat membatasi akses pasien terhadap ruangan di rumah sakit.

Jadi, kata Timboel, pasien yang tidak mendapatkan kamar di BPJS akan dipindahkan ke pasien umum karena hanya tersedia kamar umum jika kuota KRIS habis.

“Jangan sampai hal ini menghalangi peserta untuk mengakses ruang perawatan. “Makanya saya bilang, kalaupun terpaksa, pemerintah harus meluncurkan sekoci,” ujarnya.

Sekoci yang dimaksud Timboel adalah tenaga kesehatan yang ingin membantu pasien mendapatkan ketersediaan tempat tidur di rumah sakit lain yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.

Dengan cara ini, pasien tidak perlu pergi ke pasien umum atau khawatir mencari ruangan kosong sendiri. Sejauh mana kesiapan rumah sakit di Indonesia untuk menerapkan KRIS?

Sekjen ARSSI Noor Arida Sofiana mengatakan, proses adaptasi KRIS bagi beberapa rumah sakit swasta masih cukup sulit. Karena tidak semua orang mempunyai modal dan dana yang banyak.

Ia menyatakan, memang ada rumah sakit yang memiliki kapasitas dan jumlah tempat tidur yang memadai. Namun ada juga yang kesulitan menerapkan KRIS.

Padahal, dalam Perpres sebelumnya, ARSSI mengusulkan penundaan pelaksanaan KRIS dari 1 Januari 2024 menjadi 30 Juni 2025 karena tidak semua rumah sakit swasta mampu menyiapkan peralatan dan infrastruktur yang memenuhi standar yang diperlukan.

“Mungkin banyak rumah sakit yang akan mengurangi jumlah tempat tidurnya, kecuali yang modalnya cukup besar,” ujarnya.

Saat ini, pihaknya tengah mendata rumah sakit swasta mana saja yang memenuhi kriteria penyediaan KRIS dan melaporkannya ke Kementerian Kesehatan melalui Dinas Kesehatan masing-masing daerah.

“Jika dia punya anggaran, mungkin dia bisa mengisi kesenjangan tersebut dengan membangun lebih banyak [ruangan] dan menambah jumlahnya. “Tetapi tidak semua rumah sakit memiliki sumber daya yang sama,” kata Arida.

Pengamat kebijakan kesehatan Hermavan Saputra mengatakan, rumah sakit swasta akan mendapat andil terbesar dalam mempersiapkan KRIS.

Karena berbeda dengan rumah sakit yang dikelola langsung oleh pemerintah, rumah sakit swasta tidak selalu memiliki sumber daya keuangan yang memadai. Oleh karena itu, diperlukan investasi besar untuk menyesuaikan standar dalam berbagai hal.

“Bagi rumah sakit swasta, tidak hanya investasi konstruksi saja, konsekuensi penambahan investasi juga akan berdampak pada bidang kepegawaian, peningkatan kualitas, pelatihan, dan akan terjadi revolusi efisiensi.

“Pada akhirnya hal ini berdampak pada seluruh proses bisnis yang ada,” kata Hermawa.

Juru Bicara Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi mengatakan saat ini sekitar 2.600 rumah sakit telah mengumumkan siap berkontribusi dalam penerapan KRIS.

“Kami sudah hitung, sebenarnya tidak boleh ada pengurangan jumlah tempat tidur,” ujarnya.

Nadia menyatakan, untuk mencegah kekurangan tempat tidur, pihak rumah sakit bisa menggunakan dana BPJS untuk melakukan renovasi dan menambah ruang jika diperlukan.

“Bekerja di BPJS berarti menerima gaji dari BPJS. “Bisa digunakan di RS, bila diperlukan untuk melakukan renovasi atau menambah ruang perawatan, karena ini syarat kerjasama dengan BPJS,” kata Nadia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *