Apa Arti Kata Dissenting Opinion? Istilah yang Muncul pada Sidang Sengketa Pilpres di MK

TRIBUNNEWS.COM – Mahkamah Konstitusi (CC) menolak seluruh permohonan perselisihan yang diajukan kubu MD Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud terkait perselisihan hasil pemilu (PHPU) atau Pilpres 2024.

Sementara pasangan calon nomor urut 02 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka tetap menjadi pemenang seperti yang telah ditentukan KPU sebelumnya.

Senin sore, 22/4/2024, Ketua Mahkamah Konstitusi Suhartoyo membacakan putusan penolakan permohonan yang diajukan pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN), calon nomor urut 1, yang terdaftar di nomor 1/PHPU.PRES- XXII/ . 2024.

Dalam dua putusan PHPU Pilpres tersebut, masing-masing dari 3 hakim, Hakim Konstitusi Saldi Isra, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, dan Hakim Konstitusi Arief Hidayat berbeda pendapat (dissenting opinion).

Jadi, apa yang dimaksud dengan perbedaan pendapat?

Mengutip kamus Mahkamah Agung, dissenting opinion adalah pendapat atau putusan yang dibuat oleh seorang atau lebih hakim yang tidak setuju dengan pendapat mayoritas majelis hakim dalam suatu perkara.

Perbedaan pendapat biasanya terjadi ketika lebih dari satu hakim mengadili suatu kasus.

Secara umum, perbedaan pandangan ditemui di negara-negara yang menganut tradisi common law.

Namun, beberapa negara yang meneruskan tradisi hukum kontinental memperbolehkan perbedaan pendapat (dissenting opinion) dari hakim, khususnya di pengadilan tinggi.

Adapun dalam sistem hukum di Indonesia, dissenting opinion pada awalnya diterapkan di pengadilan niaga.

Namun, perbedaan pendapat kini diperbolehkan di pengadilan lain, termasuk kasus pidana.

Mengutip dari Hukumonline.com, mengenai perbedaan pendapat tersebut, silakan merujuk pada ketentuan dalam Pasal 14 Undang-undang Yurisdiksi No. 48 Tahun 2009 (“UU Peradilan”): 1. Keputusan diambil berdasarkan musyawarah untuk mufakat. hakim rahasia.

2. Dalam sidang penasehatan, setiap hakim wajib menyampaikan secara tertulis pemikiran atau pendapatnya mengenai hal yang sedang dipertimbangkannya, yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.

3. Jika tidak tercapai kesepakatan bulat dalam rapat dewan, pendapat dari hakim yang berbeda harus dimasukkan dalam keputusan.

4. Ketentuan lain mengenai pertemuan perundingan sebagaimana dimaksud pada angka 2 dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung.

Sementara itu, perbedaan pendapat (dissenting opinion) dalam pemeriksaan tingkat banding juga terlihat pada Pasal 30 Undang-Undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Hukum Perdata. Mahkamah Agung, yang kemudian diubah sebagai berikut. Untuk kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (“UU MA”):

– Dalam sidang penasehatan, setiap hakim Mahkamah Agung wajib menyampaikan secara tertulis pemikiran atau pendapatnya mengenai hal yang sedang dipertimbangkannya, yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.

– Jika kebulatan suara tidak dapat dicapai dalam perundingan, maka perbedaan pendapat hakim Mahkamah Agung harus diperhitungkan dalam pengambilan keputusan.

(Tribunnews.com/Bangkit N)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *