Laporan reporter Tribunnews.com Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Wacana pembentukan CyberForce sebagai dimensi baru di lingkungan Tentara Nasional Indonesia (TNI) semakin mengemuka.
Terbaru, Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto mengaku mendapat perintah dari Presiden Joko Widodo untuk membentuk dimensi baru tersebut.
Hal itu diungkapkan Agus kepada wartawan usai menghadiri rapat kerja dengan Komisi I DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (09/03/2024).
Khairul Fahmi, pengamat pertahanan sekaligus salah satu pendiri Institute for Strategic and Security Studies (ISESS), memperkirakan proses membangun Cyber Force TNI yang berfungsi maksimal akan memakan waktu 15 hingga 20 tahun.
Menurutnya, urgensi pembentukan Pasukan Siber TNI sebagai kekuatan baru harus menghadapi beberapa pertimbangan realistis.
Pembentukan dimensi siber, kata dia, memerlukan investasi besar pada infrastruktur yang aman dan modern.
Tak hanya itu, lanjutnya, perekrutan dan pelatihan personel berketerampilan tinggi di bidang teknologi informasi, kriptografi, intelijen, dan pengembangan perangkat lunak juga menjadi tantangan tersendiri.
Menurutnya, pengembangan doktrin, strategi, dan kerangka hukum operasi siber militer juga akan memakan waktu lama.
“Jika seluruh faktor di atas diperhitungkan, proses menuju dimensi siber yang beroperasi penuh bisa memakan waktu 15 hingga 20 tahun,” kata Fahmi saat dikonfirmasi Tribunnews.com, Rabu (09/04/2024).
Namun menurutnya, perkiraan tersebut bisa lebih singkat jika didukung oleh komitmen pemerintah yang kuat, ketersediaan anggaran yang memadai, dan kebijakan yang jelas.
Oleh karena itu, menurutnya, langkah bijak saat ini adalah memperkuat unit atau lembaga siber yang ada di lingkungan organisasi TNI.
Misalnya saja unsur Unit Siber dan Komunikasi dan Elektronika (komlek) TNI di setiap matra serta meningkatkan sinergi dengan BSSN dan instansi terkait lainnya.
Padahal, kata dia, Indonesia sudah memiliki Badan Keamanan Siber dan Sandi Negara (BSSN) yang bertugas mengoordinasikan kebijakan keamanan siber nasional, baik untuk sektor sipil maupun swasta.
BSSN, lanjutnya, fokus pada perlindungan dan mitigasi ancaman siber secara umum yang mencakup berbagai pemain lintas sektor.
Namun menurutnya, pembentukan Pasukan Siber TNI dipandang sebagai langkah khusus di bidang pertahanan yang lebih bersifat ofensif dan defensif yang berada di bawah kendali langsung TNI.
Jika terwujud, pembentukan Pasukan Siber TNI sebagai kekuatan baru tentunya akan membawa konsekuensi anggaran yang cukup besar, ujarnya.
“Biaya pembangunan infrastruktur, rekrutmen, pelatihan dan operasi akan meningkat secara signifikan. Namun, dalam konteks pertahanan negara, pengeluaran ini dapat dilihat sebagai investasi yang diperlukan, seiring dengan meningkatnya kompleksitas ancaman siber yang mereka hadapi,” ujarnya. ditambahkan. lanjutnya
Ia mengatakan, ancaman siber terhadap sistem pertahanan negara kerap dikaitkan dengan konsep perang generasi kelima atau 5GW.
Dalam skenario 5GW, katanya, ancaman yang mereka hadapi lebih abstrak dan berbasis informasi, dengan fokus pada domain non-fisik seperti siber, psikologis, dan informasi.
Menurut dia, ancaman tersebut tidak lagi semata-mata bersifat fisik, melainkan penguasaan dan manipulasi informasi untuk menimbulkan kebingungan dan mempengaruhi opini publik serta moral militer.
“Serangan siber dapat melumpuhkan infrastruktur vital militer, sistem komunikasi dan jaringan komando, serta merusak sistem persenjataan yang mengandalkan teknologi digital,” ujarnya.
“Serangan seperti ini jelas dapat mengganggu pertahanan negara tanpa perlu adanya kontak fisik. Oleh karena itu, membangun pertahanan siber yang kuat dan tangguh sangatlah penting,” lanjutnya.
Di satu sisi, ia menyadari bahwa salah satu kekhawatiran utama mengenai pembentukan CyberForce adalah potensi dampaknya terhadap hak-hak dunia maya warga negara.
Untuk memastikan keberadaan dunia maya tidak membatasi hak kebebasan dan privasi warga negara, menurutnya penting untuk menetapkan peraturan yang jelas dan lengkap.
“Kerangka hukum yang melindungi privasi dan hak-hak dasar harus dirancang untuk mengatur batasan kewenangan, pengumpulan data dan penggunaan informasi, serta memberikan mekanisme kontrol independen untuk mencegah penyalahgunaan wewenang,” ujarnya.
Selain itu, menurutnya, transparansi dalam operasional Cyber Force juga sangat penting.
Menurut Fahmi, prosedur pelaksanaan tugas dan pelaporan kegiatan yang jelas dan akuntabel kepada masyarakat dapat membantu menjaga kepercayaan masyarakat dan mengurangi risiko pelanggaran hak siber.
Selain itu, pendidikan dan kesadaran masyarakat akan hak-hak mereka di dunia maya, serta mekanisme pelaporan jika terjadi pelanggaran, juga harus menjadi prioritas.
Menurutnya, sosialisasi privasi digital dan perlindungan data pribadi dapat membantu mengurangi dampak negatif keberadaan dunia maya.
Selain itu, kata dia, perlu diperkuat kolaborasi dengan lembaga pemantau independen seperti Komisi Informasi, Ombudsman atau lembaga perlindungan hak asasi manusia.
Keterlibatan lembaga-lembaga tersebut dalam proses penilaian dan pemantauan akan memastikan operasional Cyber Force tetap berada dalam koridor hukum yang sesuai, ujarnya.
“Dengan langkah-langkah tersebut diharapkan keberadaan CyberForza dapat memperkuat pertahanan siber nasional tanpa mengorbankan hak dan kebebasan warga negara di dunia siber. Perlindungan terhadap hak-hak tersebut harus menjadi bagian integral dari perencanaan dan implementasi strategi siber nasional, ” lanjutnya.
Fahmi juga berpendapat, untuk melaksanakan pembentukan Pasukan Siber sebagai kekuatan baru, diperlukan perubahan terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) dan Undang-Undang (UU) TNI.
Struktur dan fungsi TNI saat ini, kata dia, diatur dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Jika perubahan itu menyangkut penambahan atau perubahan substansi terkait struktur dan fungsi TNI, kata dia, perubahan UUD tentu diperlukan.
Proses ini, kata dia, memerlukan amandemen konstitusi yang harus melalui mekanisme ketat, termasuk persetujuan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Selain itu, menurutnya, revisi UU TNI diperlukan untuk mengatur detail dimensi siber, termasuk tugas, wewenang, dan integrasi dengan dimensi TNI lainnya.
Proses peninjauan kembali juga memerlukan pembahasan dan persetujuan DPR, serta dukungan pemerintah.
“Keterlibatan masyarakat dalam konsultasi dan sosialisasi mengenai perubahan tersebut juga sangat penting untuk memastikan perubahan yang dilakukan sejalan dengan kebutuhan dan aspirasi nasional,” ujarnya.
Ia juga mencatat, Presiden terpilih Prabowo Subianto, semasa menjabat Menteri Pertahanan, menekankan pentingnya modernisasi alutsista dan memperkuat kemampuan pertahanan Indonesia, termasuk pertahanan siber.
Sebagai mantan perwira tinggi militer, kata dia, Prabowo memahami perlunya kemampuan siber yang kuat untuk menghadapi ancaman yang semakin kompleks.
Oleh karena itu, kata dia, pembentukan Pasukan Siber TNI dapat dilihat sebagai bagian dari upaya mencapai kemandirian pertahanan, mengurangi ketergantungan pada pihak asing, dan menghadapi ancaman yang semakin besar.
Namun, menurutnya, dukungan terhadap terbentuknya dimensi siber ini akan bergantung pada sejumlah faktor seperti ketersediaan anggaran, koordinasi antarlembaga, serta dukungan kebijakan dan politik dari parlemen dan pemangku kepentingan lainnya.
Oleh karena itu, langkah yang lebih realistis adalah dengan melakukan pembentukan Pasukan Siber TNI secara bertahap, dimulai dengan penguatan unit siber yang ada dalam jangka pendek dan menengah, ”ujarnya. .
Fahmi menyimpulkan, gagasan pembentukan Pasukan Siber TNI merupakan langkah maju menghadapi ancaman pertahanan di masa depan yang lebih kompleks dan beragam.
Namun, kata dia, mewujudkan hal tersebut memerlukan perencanaan dan strategi yang matang, serta kolaborasi lintas sektor yang kuat.
“Langkah bertahap dengan memperkuat unit siber yang ada merupakan pilihan yang lebih bijaksana,” ujarnya.
“Sambil mempersiapkan landasan pembentukan dimensi baru yang kuat di masa depan, langkah-langkah perlindungan hak warga negara dan perubahan konstitusi dan undang-undang juga harus ditanggapi dengan serius,” lanjutnya.
Sebelumnya, Gubernur Lemhannas menyampaikan kepada publik pidato mendesaknya pembentukan kekuatan siber TNI periode Februari 2022 hingga Oktober 2023, Andi Widjajanto.
Setelah itu, Ketua MPR RI Bambang Soesatyo alias Bamsoet menyatakan sudah saatnya TNI membentuk CyberForce.
Hal itu disampaikan Bamsoet saat menyampaikan pidato pada sidang tahunan MPR/DPR/DPD RI di Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta pada Jumat (16/8/2024).