Anggota DPR Soroti Deflasi dan Krisis Daya Beli yang Dinilai Tidak Lazim

Reporter Tribune News.com, Dennis Destrivan melaporkan

Tribun News.com, Jakarta – Anggota DPR Anees Bayarwati menyoroti persoalan perekonomian Indonesia yang kembali menghadapi penurunan indeks harga konsumen (CPI) atau biasa disebut inflasi pada September 2024.

Artinya, Indonesia akan mengalami resesi kelima berturut-turut pada tahun 2024. Anis menilai situasi ini tidak biasa, menandakan situasi perekonomian Indonesia berada dalam tekanan yang luar biasa.

Anis mengatakan, laju inflasi pertama kali berturut-turut pada Mei 2024 sebesar 0,03 persen (mtm). Kemudian naik menjadi 0,08 persen pada bulan Juni dan tidak jauh lebih baik yaitu sebesar 0,18 persen pada bulan Juli.

Inflasi kemudian kembali menjadi 0,03 persen pada bulan Agustus. Inflasi kembali memburuk pada bulan September 2024, tampak semakin dalam hingga 0,12 persen, menandai kontraksi bulanan kelima pada tahun 2024.

“Jadi penurunan ini menunjukkan bahwa sebenarnya telah terjadi penurunan daya beli masyarakat. Penurunan daya beli ini disebabkan oleh menurunnya jumlah pendapatan kelas menengah serta ditutupnya pabrik-pabrik di industri manufaktur. gelombang Penghematan yang menyebabkan banyak masyarakat menghentikan konsumsinya,” ujarnya kepada wartawan, Minggu (13/10/2024).

Anis juga mengatakan, fenomena inflasi ini perlu dikaji dari dua sudut pandang perekonomian, yaitu sisi permintaan dan sisi penawaran, sehingga dapat melihat fenomena inflasi dalam perekonomian nasional dalam lima bulan terakhir.

Perlambatan ekonomi global dapat mengurangi permintaan konsumen secara global, termasuk di Indonesia. Penurunan permintaan konsumen tercermin pada pertumbuhan kredit khususnya kredit UMKM.

Pada pertengahan tahun 2024, kredit perbankan akan tumbuh sebesar 12,36 persen (secara tahunan). Pertumbuhan kredit perbankan yang ditopang oleh kredit usaha besar (korporasi) meningkat sebesar 15,89 persen (year-on-year). 

Pertumbuhan kredit korporasi pada sektor UMKM tidak melambat, hanya tumbuh sebesar 5,68 persen (year-on-year). Begitu pula dengan sektor ekonomi besar padat karya seperti industri yang tumbuh sebesar 9,94 persen (year-on-year) dan perdagangan sebesar 9,87 persen (year-on-year).

Dari sisi bisnis, kata Anees, tampaknya indikator dari dunia usaha juga menunjukkan tekanan, yakni data Purchasing Managers Index (PMI) yang merupakan gambaran kondisi bisnis di sektor manufaktur. Sejak April 2024, PMI terus mengalami penurunan, dan sejak Juli 2024 juga mengalami kontraksi, artinya indikator PMI sudah berada di bawah angka 50.

“Indeks PMI Indonesia mengalami kontraksi, berada pada zona merah atau tidak berubah di bawah 50,0 selama tiga bulan berturut-turut hingga September 2024,” kata Anis.

Ia mengatakan, indikator ekonomi dan keuangan tersebut menunjukkan tekanan terhadap perekonomian Indonesia tidak ringan sehingga daya beli masyarakat menurun.

Jadi pemerintah dan B.I. perlu mengambil langkah nyata untuk menghidupkan kembali perekonomian.

“Salah satunya adalah mempertimbangkan kembali kenaikan PPN menjadi 12 persen pada tahun 2025 dan kembali menurunkan suku bunga acuan Bank Indonesia,” ujarnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *