Andy Nababan Ungkap 3 Kejanggalan di Kasus Timah, Apakah Kerugian Lingkungan Tindak Pidana Korupsi?

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kasus pidana korupsi (Tipikor) yang dilakukan Kejaksaan Agung terkait tata niaga timah PT Timah Tbk dan perusahaan mitranya belakangan menyedot perhatian publik.

Sejauh ini, Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan 21 tersangka kasus korupsi timah yang menjadi tersangka korupsi perdagangan timah pada sektor izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk pada tahun 2015 hingga 2022.

Hal yang mengejutkan dari kasus ini antara lain adalah pernyataan Jaksa Agung ST Burhanuddin tentang kerugian negara dari kasus ini yang jumlahnya sangat fantastis, yaitu Rp 300 triliun.

Perhitungan kerugian sebelumnya ‘hanya’ Rp 271 triliun, namun membuat heran.

Angka mengejutkan tersebut merupakan hasil perhitungan Badan Pengawasan Pembangunan Keuangan (BPKP) bersama beberapa ahli.

Kejaksaan Agung bekerja sama pakar lingkungan hidup Institut Pertanian Bogor (IPB) Bambang Heru menjelaskan, perhitungan kerugian mencakup beberapa aspek, antara lain kerusakan lingkungan, dampak ekonomi, dan upaya pemulihan.

Para ahli percaya bahwa nilai kerugian ini dihitung tidak hanya dari kerugian moneter langsung, namun juga dari dampak lingkungan dari aktivitas pertambangan yang tidak patuh.

Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M. Syarif pun mengomentari persoalan tersebut.

Menurut dia, kerugian negara akibat korupsi pertambangan harus dipusatkan pada perekonomian nasional secara keseluruhan, bukan hanya keuangan.

Para ahli menghitung kerugian tersebut berdasarkan Peraturan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Juli 2014 yang mengakibatkan kerugian finansial negara hingga Rp 300 triliun.

Agustina Arumsari, Wakil Direktur Penyidikan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), pada akhir Mei lalu mengatakan kerugian negara berkisar antara Rp 300 triliun hingga Rp 271 triliun akibat kerusakan lingkungan. Rp 271 triliun merupakan kerugian negara akibat menurunnya nilai aset lingkungan hidup.

Andy Nababan, pengacara Thamron alias Aon, pun angkat bicara soal pernyataan di atas. Andy pun mengakui ada yang aneh dengan kasus ini. “Setidaknya ada tiga hal yang menghalangi hal tersebut,” ujarnya, Jumat (28 Juni 2024).

Apakah kerugian PT Timah, anak perusahaan BUMN, merupakan kerugian negara?

Menurut Andi, PT Timah, anak usaha BUMN, memiliki status hukum terpisah dari aset milik negara. Hal ini diperkuat dengan peraturan perundang-undangan yang menyebutkan bahwa modal anak perusahaan BUMN merupakan kekayaan yang berdiri sendiri dan terpisah dari perusahaan induk BUMN.

Oleh karena itu, kerugian yang dialami PT Timah tidak bisa langsung digolongkan sebagai kerugian nasional.

“Sesuai peraturan perundang-undangan, kerugian PT Timah, anak usaha BUMN, tidak bisa digolongkan sebagai kerugian negara,” ujarnya.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2017, Pasal 2 (a) (2), status PT Timah Tbk sebagai perseroan terbatas (Persero) ditetapkan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1976 tentang Peralihan Negara. Formulir. . Perusahaan pertambangan timah berubah menjadi perseroan terbatas (persero).

Ayat 1 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 mendefinisikan badan usaha milik negara adalah suatu badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan langsung yang berasal dari kekayaan negara tersendiri.

Pasal 1 Ayat 2 menyatakan Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut Persero) adalah BUMN berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi atas saham dan dimiliki seluruhnya atau lebih dari 51%. Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tujuan utamanya mencari keuntungan.

Pasal 1 ayat (2) Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor 2 Tahun 2012 menyebutkan bahwa pendirian anak perusahaan BUMN didasarkan pada kekayaan BUMN tersendiri. Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 19 Tahun 2003 menyatakan bahwa modal suatu BUMN dimiliki oleh negara tersendiri sehingga anak perusahaannya tidak lagi dimiliki oleh negara.

Berdasarkan ketentuan di atas, kerugian PT Timah tidak dapat digolongkan sebagai kerugian negara. Anak perusahaan BUMN seperti PT Timah merupakan badan hukum tersendiri, mandiri dan keuangannya tidak dapat dikaitkan langsung dengan keuangan negara, ujarnya.

Apakah KUHP Korupsi (Tipikor) bisa diterapkan pada PT Timah anak perusahaan BUMN?

Menurut Andy, meski kasus korupsi PT Timah telah menimbulkan kerugian negara yang sangat besar, namun penegakan hukum antikorupsi tidak bisa langsung diterapkan pada PT Timah.

Karena didasarkan pada status hukum PT Timah, badan hukum yang terpisah dari kekayaan negara, maka tindak pidana korupsi tidak bisa langsung diterapkan dalam perkara ini.

Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 mengatur bahwa tindak pidana korupsi terjadi apabila suatu perbuatan dilakukan untuk melindungi diri sendiri atau orang lain. Perusahaan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian nasional.

Namun, Pasal 1 ayat (2) Peraturan Sekretaris Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor 2 Tahun 2012 menyebutkan anak perusahaan BUMN bukan merupakan bagian dari kekayaan negara.

“Dalam kasus PT Timah, jika ada yang melanggar hukum, maka tindak pidana korupsi dapat dilakukan terhadap individu PT Timah, namun status PT Timah sebagai anak perusahaan BUMN tidak menjadi dasar untuk langsung melakukan tindak pidana korupsi.” katanya .

Selain itu, Pasal 4 Ayat 1 UU Nomor 19 Tahun 2003 menyebutkan modal BUMN merupakan milik negara tersendiri. Oleh karena itu, modal anak perusahaan BUMN juga merupakan kekayaan tersendiri dari negara.

Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 mengatur bahwa aset milik negara BUMN dapat digunakan sebagai penyertaan modal dalam pendirian anak perusahaan, sehingga aset anak perusahaan tersebut menjadi aset mandiri anak perusahaan.

Oleh karena itu, PT Timah, anak perusahaan BUMN, tidak bisa langsung dituntut karena korupsi, karena kerugian yang diderita PT Timah bukan merupakan kerugian negara.

Apakah kerusakan lingkungan termasuk tindak pidana korupsi?

Menurut Andi, kerusakan lingkungan hidup tidak bisa langsung digolongkan sebagai tindak pidana korupsi.

Kerusakan lingkungan hidup lebih tepat diatur dan dikenai sanksi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Contoh kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh kegiatan PT Timah tidak dapat ditemukan hanya dalam konteks peraturan perundang-undangan lingkungan hidup.

“Perbuatan yang menyebabkan kerusakan lingkungan hidup dapat dikenai sanksi berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, namun praktik tersebut tidak dapat dijadikan alat ukur hukum.”

Sebab, lanjutnya, PT Timah tidak terlalu penting dalam landasan hukum PT Timah sebagai anak perusahaan BUMN yang hingga saat ini sarat dengan publikasi yang menghebohkan masyarakat dengan banyaknya tuntutan Jaksa Agung terhadap PT. anotasi.

Namun Andy melanjutkan, di balik angka mengejutkan tersebut terdapat pertanyaan besar yang perlu dijawab.

“Apakah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sudah cukup melakukan pengawasan dan penegakan hukum terhadap kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh PT Tima dan perusahaan mitranya?” dikatakan.

“Jelas dari undang-undang dan peraturan yang ada bahwa Kementerian Lingkungan Hidup mempunyai peran penting dalam mengatasi masalah ini.”

Andy mengatakan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Kementerian Lingkungan Hidup mempunyai tanggung jawab yang besar untuk melindungi lingkungan hidup dari kerusakan yang disebabkan oleh aktivitas manusia, termasuk aktivitas pertambangan.

Ia menyebutkan sejumlah peraturan. Pasal 87 ayat (1) menyatakan bahwa barangsiapa melakukan perbuatan melawan hukum berupa pencemaran atau menjalankan usaha yang merusak lingkungan hidup sehingga menimbulkan kerugian bagi orang lain atau lingkungan hidup, wajib membayar ganti rugi dan/atau merusak lingkungan hidup. Ambil tindakan spesifik. Pasal 94 sampai dengan 98 UU 32 Tahun 2009 tentang Penegakan Hukum Lingkungan Hidup yang memuat kewajiban pemerintah melakukan pengawasan, kewajiban pemberian sanksi administratif, dan pelaksanaan tindakan penegakan hukum pidana terhadap pelaku perusakan lingkungan hidup. Pasal 95 menyatakan bahwa Menteri Lingkungan Hidup bertugas merumuskan kebijakan nasional dan mengkoordinasikan pelaksanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, serta menjamin bahwa segala kegiatan yang dapat menimbulkan kerusakan lingkungan hidup mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan. .

Lanjutnya, “Kementerian Lingkungan Hidup harus menyampaikan kepada publik pernyataan kerugian nasional yang secara spesifik menjelaskan dasar dan cara hukum serta mengumumkan hasil penyelidikan atas tindakan yang dilakukan oleh para ahli dan Jaksa Agung.”

“Transparansi ini penting untuk membangun kepercayaan masyarakat dan memastikan penegakan hukum dilakukan sesuai ketentuan yang berlaku.”

Menurutnya, dengan menghadirkan fakta-fakta yang bertentangan dengan kerangka hukum yang berlaku, masyarakat harus teredukasi agar bisa melihat kasus tersebut dari sudut pandang yang lebih komprehensif berdasarkan fakta-fakta hukum yang ada, dibandingkan sekadar menampilkan angka-angka khayalan belaka.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *