TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ekosistem tembakau sebagai bagian dari sektor manufaktur terus berupaya memberikan kontribusi terbaik di tengah kondisi perekonomian yang sulit ini.
Penerimaan negara dari Pajak Konsumsi Khusus (CHT) hasil tembakau sebesar 213,5 ton pada tahun 2023, artinya turun sekitar 2,3%. Dibandingkan tahun 2022.
Terkait APBN 2024, dengan total penerimaan pajak konsumsi diperkirakan mencapai Rp246,08 triliun, CHT menargetkan memberikan kontribusi sebesar Rp230,41 triliun atau 93,6 persen dari total penerimaan pajak konsumsi. Sulitnya mencapai target pendapatan CHT disebabkan tingginya pajak konsumsi yang dikenakan dalam 5 tahun terakhir.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Bea dan Konsumsi, produksi rokok dalam negeri, seperti produksi industri tembakau (IHT), mengalami penurunan sebesar 10,57 persen dalam 5 tahun terakhir. Dari 355,84 miliar batang pada tahun 2019 menjadi 318,21 miliar batang pada tahun 2023. Kelangsungan Hidup Ekosistem tembakau saat ini berada dalam kondisi darurat. Tidak dapat dipungkiri bahwa ekosistem tembakau menjadi motor penggerak perekonomian negara karena efek multiplier perekonomiannya yang sangat besar.
“Dalam kondisi perekonomian yang sulit saat ini, ekosistem tembakau menghadapi berbagai tantangan. Seluruh rantai tembakau hulu dan hilir berisiko terputus akibat sejumlah pasal pengaturan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 (PP Kesehatan) dan peraturan pelaksanaannya, yaitu Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan tentang Tembakau dan Tembakau serta Obat-obatan ( RPMK) ada di seberang. Pengendalian Rokok Elektronik yang saat ini sedang melaksanakan target persetujuan transisi pemerintah. “Regulasi tembakau dalam RPMK sangat mengkhawatirkan dan berdampak sangat suram terhadap ekosistem hulu dan hilir tembakau,” kata Direktur Jenderal Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) I Ketut Budhyman dalam keterangannya, Selasa. 10/2024).
Diketahui, rancangan peraturan menteri tersebut memuat ketentuan yang mendorong penggunaan kemasan rokok polos tanpa merek dalam lingkup standardisasi kemasan.
Penolakan terhadap peraturan rokok tidak bermerek kemasan polos telah berulang kali disuarakan oleh beberapa pelaku industri tembakau, seperti petani tembakau dan cengkeh, pekerja, pengecer dan industri terkait lainnya, termasuk industri kreatif.
Rancangan peraturan ini dapat memberikan dampak besar terhadap pembangunan berkelanjutan pada angkatan kerja dan berkontribusi terhadap peningkatan signifikan jumlah rokok ilegal.
Budhyman menjelaskan, RPMK akan mencakup 2,5 juta produsen tembakau di ekosistem tembakau, 1,5 juta petani cengkeh, 600.000 pekerja sigaret kretek tangan (SKT), pengecer, usaha kecil dan menengah, hingga 725.000 pekerja media kreatif.
“Sebagai elemen ekosistem tembakau, kami bukanlah pihak yang menentang regulasi. Kami bersedia, siap dan selalu mematuhi peraturan yang berlaku dalam praktik. Sayangnya, kami belum terlibat dalam pengerjaan setiap rancangan peraturan perundang-undangan tentang tembakau, termasuk isu promosi penggunaan kemasan rokok biasa. Tiba-tiba Kementerian Kesehatan memperkenalkan standardisasi. “Padahal efek berantai negatif ini sangat besar, baik bagi pekerja, pedagang, maupun industri itu sendiri,” ujarnya.