Amnesty International Indonesia: Reformasi Putar Balik setelah 26 Tahun

Laporan reporter Tribunnews.com Gita Irawan

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid melihat reformasi terjadi berbeda setelah 26 tahun.

Usman mengatakan, hari ini Selasa (21/5/2024) bertepatan dengan peringatan 26 tahun lahirnya era perubahan yang menjadi penting dalam sejarah Indonesia. 

Namun, lanjutnya, kebebasan sipil yang diperjuangkan mahasiswa dan masyarakat 26 tahun lalu kini semakin terancam.

“Hal-hal yang diperjuangkan reformasi seperti perlindungan supremasi hukum, kebebasan berekspresi, kebebasan pers dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, termasuk penyidikan kasus-kasus pelanggaran berat, kini terasa semakin di luar jangkauan,” kata Usman saat dikonfirmasi. Selasa (21/5/2024).

Reformasi justru terbalik. Alih-alih menjamin hak mengkritik dan mengontrol politik, pemerintah justru memperkecil ruang sipil, mengabaikan gagasan reformasi, lanjutnya.

Menurutnya, cara-cara represi yang lazim terjadi pada masa Orde Baru, termasuk intimidasi dan penyerangan terhadap hak berpikir, berekspresi, dan berkumpul, masih terus berlanjut hingga saat ini.      

Ia mencatat, pada Senin 20 Mei 2024 sekelompok orang bernama Patriot Garuda Nusantara (PGN) menyerang dan mengganggu debat publik pada Public Water Forum (PWF) yang digelar di Denpasar, Bali. 

Dalam video yang diunggah Amnesty, ia menyebut masyarakat berkumpul dan membubarkan diri secara kekerasan saat debat yang diklaim sebagai wadah menentang World Water Forum yang digelar di Nusa Duca.

Massa menuduh panitia perunding melanggar permohonan penjabat Gubernur Bali, dengan mengatakan bahwa mereka telah membajak fitur-fitur acara tersebut dan merugikan peserta forum.  

Dikatakannya, sumber terpercaya Amnesty juga menyebut sejumlah insan PGN sudah beberapa kali datang dan menuntut pembatalan PWF 2024. 

Padahal, kata dia, PWF 2024 merupakan forum komunitas yang dirancang untuk menjadi wadah pengawasan privatisasi air dan mendorong pengelolaan air untuk kesejahteraan masyarakat.    

Sebelumnya, kata dia, pemerintah daerah juga meminta pengurus dan pengurus di beberapa daerah menghentikan agenda PWF yang sayangnya menggunakan cara intimidasi. 

Ancaman dan kekerasan sering terjadi ketika forum internasional diadakan, ini bukti pemerintah tidak serius dalam menjamin kebebasan. Gagasan untuk memberikan tangan kepada massa non-negara yang berkonflik untuk mengamankan acara internasional juga kuat, kata Usman. .  

“Kami mengimbau pemerintah menghentikan intimidasi dan kekerasan selama PWF 2024. Pemerintah harus menjamin hak warga negara untuk berkumpul tanpa tekanan,” lanjutnya. 

Selain itu, ia melihat adanya upaya membungkam kebebasan pers seiring dipraktikkannya era Orde Baru.

Belakangan ini, kata dia, praktik tersebut merupakan upaya memaksakan kebebasan pers melalui Reformasi Undang-Undang (RUU) Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.  

Menurut dia, banyak bagian dalam RUU Penyiaran yang berpotensi melanggar kebebasan pers dan hak masyarakat dalam mengakses informasi.

Dia mencontohkan pasal 50B ayat (2) yang melarang penyiaran swasta yang memuat jurnalisme investigatif, konten terkait LGBT+, konten terkait berita bohong, pencemaran nama baik dan pencemaran nama baik serta pencemaran nama baik. 

“Semua ini dapat melanggar kebebasan pers dan melanggar hak asasi manusia. Seharusnya pemerintah menjamin independensi pers, bukan melarang pemberitaan pers dan masyarakat,” kata Usman.

Ia juga percaya bahwa meskipun kebebasan sipil dibiarkan tumbuh, negara tampaknya tidak serius dalam menyelidiki kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia yang serius di masa lalu.  

Presiden Joko Widodo dalam beberapa bulan terakhir pemerintahannya, menurutnya, belum memenuhi janjinya untuk mengusut pelanggaran HAM berat, termasuk 12 kasus yang diakuinya pada tahun 2023.

Kekerasan pada bulan Mei 1998, khususnya pemerkosaan yang meluas terhadap perempuan etnis Tionghoa dan pembakaran warga sipil, katanya, belum sepenuhnya diselidiki. 

Menurutnya, tragedi kerusuhan yang terjadi di Jakarta dan beberapa kota yang berlangsung pada 13-15 Mei 1998 memberikan dampak yang besar bagi para korban dan masyarakat secara keseluruhan karena lebih dari seribu orang kehilangan nyawa. 

Namun, dia mengatakan pelaku kekerasan tersebut belum diselidiki sepenuhnya.  

Selain itu, ia juga mencatat adanya kejadian kekerasan seksual yang sebagian besar menyasar perempuan Tionghoa pada kerusuhan Mei 1998.

Menurut catatan Amnesty International, katanya, pada bulan Juni 1998 Kelompok Kemanusiaan Sukarela mengeluarkan laporan yang menyatakan bahwa 168 perempuan, yang sebagian besar adalah etnis Tionghoa, telah diperkosa dan/atau diserang secara seksual pada kerusuhan Mei 1998.  

“Penemuan kasus pemerkosaan berkelompok ini masih belum jelas   

“Orang-orang yang melakukan kekerasan, pemerkosaan dan pembakaran selama kekerasan, terutama mereka yang merencanakannya, harus dibawa ke hadapan hukum. Jika pemerintah tidak mengusut kasus-kasus tersebut, hal ini akan memperkuat ketidakadilan dan menunjukkan bahwa pelanggaran HAM bisa saja terjadi. tanpa hasil apa pun”, tambahnya.

Menurut Usman, hal ini tidak hanya merampas hak setiap orang untuk hidup aman, tetapi juga menimbulkan ketakutan dan trauma yang terus-menerus, terutama bagi warga negara Tiongkok.

Menurut Usman, sejauh ini belum ada langkah konkrit yang dilakukan pemerintah, dalam hal ini Kejaksaan Agung untuk mengusut kasus tersebut.

Selain itu, kata dia, masih banyak hak restitusi bagi korban pelanggaran HAM berat yang belum dilaksanakan. 

Menurut dia, situasi ini menambah kekhawatiran bahwa pemerintah tidak menunjukkan upaya penuh dalam mengklarifikasi kasus pelanggaran HAM berat.

Ia mengatakan hal ini memperkuat persepsi bahwa negara tidak mengutamakan hak asasi manusia dibandingkan isu lainnya.  

Ketidakpastian kelanjutan proses hukum dan non-hukum dalam kasus pelanggaran HAM berat berpotensi memperpanjang penderitaan dan ketidakadilan yang dirasakan korban dan keluarganya, kata Usman.

“Pemerintah tidak boleh mengabaikan, apalagi menghentikan, proses peradilan dan non-peradilan terkait kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu selama pelakunya masih bebas,” lanjutnya.  

Ia juga mendesak Kejaksaan Agung mengambil langkah efektif untuk segera mengusut kasus pelanggaran HAM berat. 

Menurutnya, upaya penyelesaian ilegal juga harus terus dilanjutkan, begitu pula hak para korban dan keluarganya harus dikembalikan secepatnya.  

“Ini merupakan langkah awal yang penting dalam mendukung keadilan bagi para korban dan keluarganya,” kata Usman.  

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *