Laporan Jurnalis Tribunnews.com, Rina Ayu
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ketua Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Profesor KH Asrorun Niam Soleh membeberkan alasan pihaknya tidak menyetujui sertifikasi halal pada produk dengan nama bermasalah.
Hal ini menjawab dan menyoroti isu viral mengenai produk yang diberi nama anggur, bir, dan minuman beralkohol yang telah menerima sertifikasi halal.
Kyai Asrorun Niam menjelaskan MUI mengeluarkan fatwa no. 1. 44 Tahun 2020 tentang Penggunaan Nama, Bentuk dan Rasa Produk yang Terkait dengan Barang Larangan.
Dalam fatwa MUI n. 44 Tahun 2020 dengan jelas mengatur bahwa penggunaan nama, bentuk, dan rasa yang dikaitkan dengan hal-hal yang haram atau dilarang syariah tidak dapat disertifikasi halal.
Ia menambahkan, meski produk tersebut cukup halal baik dari bahan baku maupun proses pembuatannya, namun jika menggunakan nama atau istilah yang berkonotasi haram, tetap saja produk tersebut belum bisa halal.
“Misalnya bir non-alkohol, meski sepenuhnya halal dan tidak mengandung unsur haram atau najis, namun penggunaan kata ‘bir’ tidak bisa diakui halal karena dikaitkan dengan sesuatu yang haram,” lanjut Kiai Niam. , dikutip dari situs resmi MUI.
Hal ini dilakukan agar masyarakat tidak mendekat dan terjerumus ke dalam sesuatu yang haram atau berbau penistaan.
Lebih lanjut, MUI juga ingin meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga produk halal.
Bukan hanya dari segi substansinya saja, namun dari aspek lain yang dapat menimbulkan kebingungan atau kebingungan di kalangan konsumen.
Ia mencontohkan kasus produk yang viral dengan nama “Mie Setan” dan “Mie Cap Babi”.
Meskipun produk tersebut secara umum halal, namun penggunaan nama tersebut dilarang dalam proses sertifikasi halal.
Namun setelah berdiskusi dengan MUI, para pelaku industri akhirnya mengganti nama produknya tanpa mengurangi omzet dan menyatakan bahwa perubahan nama tersebut tidak merugikan perusahaan.
Fatwa ini memberikan pengecualian pada beberapa istilah yang umum dikenal masyarakat dan tidak berkaitan dengan hal-hal yang haram, seperti “bir pletok” dan “roti buaya”.
Istilah-istilah tersebut sudah menjadi bagian dari budaya populer dan tidak membingungkan sehingga tetap dapat disertifikasi halal.
Kyai Niam menggarisbawahi pentingnya pelaku ekonomi menghormati Fatwa No. MUI. 44 Tahun 2020, serta peran lembaga pengujian halal dalam memberikan sertifikasi halal sesuai standar yang telah ditetapkan.
“Hal ini merupakan bagian dari upaya melindungi masyarakat dan meningkatkan kesadaran akan pentingnya produk halal, baik dari segi substansi maupun aspek lainnya,” ujarnya.
Dengan adanya klarifikasi tersebut diharapkan masyarakat dan pelaku usaha semakin memahami pentingnya mengikuti aturan yang telah ditetapkan dalam proses sertifikasi halal sehingga dapat mendukung terciptanya ekosistem produk halal yang lebih baik di Indonesia.