TRIBUNNEWS.COM – Pasukan Pertahanan Israel mengumumkan pada Selasa (11 Juni 2024) bahwa pasukan rezim sekali lagi tewas dalam pertempuran.
Militer Israel mengkonfirmasi pada Senin (6 Oktober 2024) bahwa satu perwira dan tiga tentara dari Brigade Givati tewas dalam pertempuran sengit di Rafah di Jalur Gaza selatan.
Batalyon Al-Qassam mengumumkan bahwa seorang tentara Israel tewas dalam serangan itu.
Sayap militer gerakan perlawanan Palestina Hamas meledakkan gubuk jebakan di Rafah.
“Pejuang Al-Qassam meledakkan sebuah rumah tempat pasukan Zionis bersembunyi di kamp Shaboula di kota Rafah, membunuh dan melukai anggota kelompok bersenjata tersebut,” kata al-Qassam dalam sebuah pernyataan.
Pernyataan tersebut mengutip Palestine Chronicle dan menambahkan: Segera setelah kedatangan tim penyelamat, jet tempur kami menghancurkan rumah-rumah di dekatnya, yang diledakkan dengan mortir.
Selain empat tentara tersebut, tujuh lainnya terluka, lima di antaranya berada dalam kondisi kritis, menurut tentara Israel.
Menteri Keamanan Nasional sayap kanan Israel Itamar Ben Gawa juga mengumumkan bahwa empat tentara Zionis tewas di Rafah.
Times of Israel melaporkan empat tentara Israel tewas, semuanya anggota unit pengintaian Brigade Givati.
Salah satu prajurit bernama Sersan Yair Levin.
Yair Levin dikenal sebagai cucu mantan anggota Likud MK Moshe Feiglin.
Menurut Wikipedia, Moshe Feiglin juga dikenal sebagai politisi dan aktivis Israel. Dia adalah pemimpin Partai Kebebasan Zionis Zahut. Informasi terkini mengenai korban jiwa di Gaza
Warga Palestina terus menderita korban akibat serangan mematikan Israel di Jalur Gaza sejak 7 Oktober 2023.
Kementerian Kesehatan mengumumkan pada Selasa (6 November 2024): Jumlah kematian kini meningkat menjadi 37.164.
Pernyataan kementerian menambahkan bahwa 84.832 orang juga terluka dalam serangan itu, menurut Kantor Berita Anatolia.
Dilaporkan juga, setidaknya 40 orang tewas dan 120 orang terluka dalam 24 jam terakhir akibat serangan rezim Zionis.
Ia menambahkan: “Banyak orang masih terjebak di bawah reruntuhan atau di jalan karena tim penyelamat tidak dapat menjangkau mereka.
Delapan bulan setelah perang Israel, sebagian besar Gaza telah hancur akibat blokade makanan, air bersih, dan obat-obatan.
(Tribunnews.com/Gardea Prabawati)