Akademisi: PMI Industri Indonesia jadi Korban Relaksasi Impor

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ekonom Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Fahmi Wibawa mengingatkan pemerintah untuk bersatu melindungi industri lokal dari serangan impor.

Dia mengatakan, kegagalan dalam merespons serangan terhadap barang impor berdampak buruk, salah satunya adalah Purchasing Managers’ Index (PMI) Juli 2024 yang baru dirilis S&P Global akhirnya memasuki wilayah kontraksi. Di zona ekspansi selama 33 bulan.

Pada bulan Mei 2024, data PMI Indonesia berada pada zona ekspansi sebesar 52,1, kemudian turun menjadi 50,7 pada bulan Juni 2024, dan akhirnya jatuh ke zona kontraksi sebesar 49,3.

“Turunnya PMI pada bulan Juni dan Juli tidak lepas dari penurunan impor. “Secara khusus, pelonggaran impor pada tujuh kelompok komoditas yang diberlakukan pembatasan impor, seperti elektronik, alas kaki, pakaian, aksesoris fesyen, kosmetik, dan barang-barang rumah tangga lainnya, berdampak besar sehingga membuat PMI Indonesia menjadi salah satu korbannya.” ujar Fahmi.

“Melindungi industri lokal adalah kunci keberhasilan industri manufaktur di masa depan. Kebijakan rekreasi harus mempertimbangkan pandangan dan keinginan para pemangku kepentingan yang terkena dampak. “Oleh karena itu, kami berharap industri manufaktur Indonesia mampu bersaing dengan industri manufaktur global baik dari segi harga maupun kualitas,” kata Fahmi.

Menurut Fahmi, kondisi relaksasi impor yang kurang baik berdampak pada citra pengusaha lokal. Kekhawatiran ini tercermin dalam pengumuman PMI S&P Global.

Persepsi tersebut muncul setelah diberlakukannya relaksasi impor pada 17 Mei 2024. Mungkin dampak pelonggaran impor ada dua. Di satu sisi, terjadi persaingan antara impor dan produk dalam negeri, dan pada saat yang sama, nilai mata uang rupee semakin melemah seiring berjalannya waktu. “Nah, kalau pelonggaran impor terus dilakukan, dampak serbuan barang impor akan semakin parah, karena produk industri lokal akan semakin kalah bersaing dengan produk impor,” kata Fahmi.

Fahmi yang juga dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini juga menegaskan, kebijakan yang melindungi perkembangan industri lokal merupakan wujud kepercayaan pemerintah terhadap industri lokal.

Menurut dia, tugas melindungi industri lokal tidak hanya menjadi tanggung jawab Menteri Perindustrian, tetapi juga Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Keuangan, Kementerian Perdagangan, dan kementerian/lembaga terkait lainnya. . kementerian/lembaga terkait lainnya.

Fahmi memperkirakan penurunan impor menimbulkan dua reaksi. Dari sisi importir, mereka menilai pemerintah telah memberikan dukungan yang besar kepada mereka. Bagi pelaku industri dalam negeri, hal ini merupakan pukulan berat bagi mereka.

“Banyak pelaku industri dalam negeri yang membatalkan kontraknya akibat relaksasi impor. Bisa dibayangkan efek dominonya jika pelonggaran impor terus dilakukan. Sejumlah produsen dalam negeri terpaksa tutup karena ketidakmampuan bersaing, meningkatnya pengangguran, melemahnya rupee akibat tingginya kuota impor, dan melemahnya kepercayaan investor akibat depresiasi rupee. “Relaksasi impor harus dipastikan dengan kebijakan yang sangat adil, terutama bagi pemain lokal di industri ini,” kata Fahmi.

Fahmi juga secara khusus menyoroti kontroversi aturan impor yang diperluas, sehingga sebaiknya Presiden Jokowi memberikan instruksi untuk terus memprioritaskan pengembangan industri lokal.

“Ya, hikmahnya adalah masyarakat akan teredukasi dan setiap sektor semakin sadar akan pentingnya keseimbangan ‘gas’ dan ‘rem’ dalam pengambilan kebijakan,” kata Fahmi.

Dalam kesempatan lain, Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (INAPLAS) Fajar Budiono mengatakan, impor barang yang membanjiri Indonesia berdampak negatif terhadap industri dalam negeri dan hal itu tercermin pada angka PMI.

“Mau tidak mau, industri harus mengurangi produksi, bahkan di sektor tekstil sudah dilakukan pemotongan. “Jika ini terus berlanjut dan pemerintah tidak mengambil tindakan, saya melihat PMI manufaktur tahun 2024 akan semakin buruk,” kata Fajar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *